Monday, October 28, 2013

Tafsir Bil Ray'i


Tafsir bil ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan menetapkan rasio (akal) sebagai titik tolaknya. Tafsir ini dikenal sebagai tafsir bil ijtihad atau tafsir ijtihadi.
Menurut para ulama ada dua versi, ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Para ulama yang membolehkan tafsir bil ra’yi mengajukan beberapa syarat yang harus ditempuh apabila akan melakukan tafsir bil ra’yi, yaitu:
1.     Hafal al-qur’an fasih tajwidnya
2.    Menguasai kaidah bahasa arab atau kaidah lughawi
3.    Hafal hadis min 4 ribu hadis
4.    Mempunyai rujukan yang berupa tafsir bil hadis
5.    Memahami hokum islam yang terkandung dalam al-qur’an
karena tafsir bil ra’yi masih bisa sampai sekarang atau belum ditutup, ijtihad menafsirkan al-qur’an
misal tafsir al-mishbah karya Quraish Shihab
Allah memberikan kebebasan
bila mau mentafsirkan asbabbun nuzul harus dikuasai
ayat mutashabihat tidak bisa ditafsirkan misal
·         Yaddullahi fauqi…….........
·         Innallaha ‘alal’arsyi……………
selain itu juga kita harus menguasai ilmu ushul
ulama yang melarang karena minimbang dari kehati-hatian
min fassaral qur’ani bil ra’yati faqad kafara
Isa Bugis tamatan ITB gelar cumlaude
bila mau menafsirkan harus menguasai tujuh fan yaitu manthiq, bayan dlsb
tafsir bil ra’yi
afalaa yandzuruuna ilal ibili kaifa huliqat (boleh tafsir dengan akal)
unta


biasanya pada saat menafsirkan pasti lebih cenderung dengan kelompoknya itu yang berbahaya
Imam Ali Hasan Al Arif menyebutkan enam hal yang harus dihindari apabila seseorang menafsirkan dengan ra’yi, yaitu :
§  memaksakan diri untuk mengatahui ayat yang dikendaki Allah
§  mencoba menafsrkan ayat ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
§  menafsirkan ayat karena dorongan hawa nafsu
§  menafsirkan ayat menurut makna yang tidak dikandungnya
§  menafsirka ayat untuk mendukung aliran atau paham atau madzhab tertentu
§  hokum islam
§  menafsirkan ayat dengan kepastia tanpa dukungan dalil-dalil
menurut hokum islam
1.     sumber hukum itu jelas al-qur’an
2.    hadits
3.    ijma’
4.    qiyas
5.    istihsa
6.    istifhab
7.    maslahatul mursalah
8.    mara’a man qablana



TAFSIR BI AL-RA’YI
A. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk, peringatan, dan sumber hukum yang bersifat pokok keterangan sehingga diperlukan usaha pemahaman lebih terperinci dan mendalam untuk memberikan kemudahan dalam mengimplementasikan ajarannya di setiap sudut kehidupan. Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-Qur’an harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu  pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kedudukan tafsir dalam Islam sangat dijunjung tinggi karena melihat objek yang ditafsirnya, yaitu Kitab Allah, al-Qur’ān al-Karīm. Merupakan sebuah keagungan bagi mereka yang mampu menyingkap tabir makna al-Qur’an.
Para ulama sepakat, kaitannya dengan pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’thūr atau tafsir bi al-riwāyah, tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirāyah, dan tafsir bi al-iqtirāni atau campuran antara nas dan akal pikiran manusia.
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi. Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’yi, hanya ditafsirkan secara subjektif  untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Namun, juga sangat disayangkan sekali ketika anugerah akal yang memang seharusnya diperuntukkan  manusia untuk mencari kebenaran dan hikmah di balik ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat selama tetap dalam koridor syariah yang telah baku, tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, akal yang semestinya diperuntukkan menunjukkan dan mempertimbangkan kebenaran dalam segala bentuknya disalahgunakan untuk menggiring al-Qur’an mengikuti keinginannya. Merupakan sesuatu yang sangat diluar batas kewajaran kita sebagai seorang hamba.
Berpijak dari uraian di atas dalam  makalah ini kami sajikan secara mendalam deskripsi tentang tafsir bi al-ra’yi, baik dalam hal pendefinisian, persimpangan pendapat para ulama tafsir,  latarbelakang munculnyanya, macam-macam tafsir bi al-ra’yi, dan sebagian contoh dari tafsir bi al-ra’yi menurut  macam-macamnya.
B. Tinjauan Umum tentang Tafsir bi al-Ra’yi
1. Pengertian tafsir bi al-ra’yi
a. Menurut Bahasa
Al-ra’yu memiliki akar kata dari ra’a-yara-ra’yan-ru’yatan. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un yang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang dasar sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-I’tiqād), analogi (al-qiyās), atau ijtihad. Kaitannya dalam bentuk penafsiran al-Qur’an, al-tafsīr bi al-ra’yi sering disebut juga dengan istilah al-tafsīr bi al-dirāyah, al-tafsīr bi al-ma’qūl, al-tafsīr al-‘aqliy, atau al-tafsīr al-ijtihādiy.[1]
b. Menurut Istilah
Secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat al-Dhahābiy[2], bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbāb al-nuzūl, al-nāsikh wa al-mansūkh, dan sebagainya.
Al-Farmāwiy[3] juga agak sama pendapatnya dengan al-Dhahābiy, bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah cara menafsirkan al-Qur’an dengan jalan ijtihad setelah terlebih dahulu mufassir mengetahui metode kosa kata bahasa Arab beserta muatannya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Musa’īd Muslīm ‘Abdullāh[4], bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah menerangkan isi ayat-ayat al-Qur’an dengan berpijak pada kekuatan akal pikiran setelah terlebih dahulu memahami ilmu bahasa Arab dan pengetahuan terahadap hukum-hukum sharī’ah sehingga tidak ada pertentangan dengan produk tafsir yang dihasilkannya.
Dari beberapa pendapat di atas penulis bisa merumuskan bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran si mufassir yang sudah memenuhi syarat dan memiliki legitimasi dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap selaras dengan hukum shari’ah, tanpa ada pertentangan sama sekali.
2. Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam  melakukan tafsir bi al-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;[5]
a. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
b. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
c. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
d. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al-naḥwu, al-lughah, al-taṣrīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.
Menurut al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi al-ra’yi yang fasid. Lima perkara tersebut adalah;[6]
a. Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
b. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutashābihāt yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
c. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi
d. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk mengikuti keinginan madzhabnya.
e. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah” terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang  mendukungnya.
Syarat-syarat dan hal yang harus dijauhi oleh seorang mufassir tersebut merupakan acuan untuk mengukur diterima tidaknya sebuah produk tafsir al-Qur’an bi al-ra’yi. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut secara tidak langsung merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur ulama untuk diakui dan ditetapkan sebagai seorang mufassir.
Menurut penulis dengan adanya ketentuan-ketentuan di atas hal tersebut menunjukkan sikap kehati-hatian para ulama tafsir agar tidak semua orang dengan mudah menafsirkan al-Qur’an. Syarat-syarat di atas juga hanya berlaku untuk orang per seorangan bukan untuk kumpulan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang memadai dalam satu bidang kemudian berkumpul dengan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang berbeda yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat menjada penafsir dan secara kolektif menafsirkan al-Qur’an. Itu tidak boleh dan tetap tidak bisa diterima produk tafsirnya karena yang dimaksud dengan syarat-syarat di atas hanya ditujukan untuk satu orang saja. Dalam artian, jika seseorang memiliki kemampuan keilmuan seperti yang disebutkan dalam syarat menjadi seorang mufassir maka tafsirnya bisa diakui dan diterima, namun jika secara kolektif mereka menafsirkan al-Qur’an dengan berbekal kemampuan keilmuan masing-masing untuk memenuhi syarat sebagai penafsir maka itu tidak boleh dan tertolak semua tafsirnya.
C. Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’thūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.[7]
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bi al-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bi al-ra’yi. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bi al-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.[8]
Al-ra’yu semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil dasar firman Allah:
ولا تقف ما ليس لك به علم (الاسرأ:٣٦ )
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isra’ : 36)

Dan firman Allah,
اتقولون على الله ما لا تعلمون (الأعراف : ٢٨)
“Apakah kamu berani menyatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-A’raf : 28)
Mereka juga menunjukkan sebuah hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmīdhiy dari Ibnu ‘Abbās,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Ibnu ‘Abbas ra. dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiaplah tempatnya di neraka”
Abu Bakar Ṣiddīq[9] pernah berkata,
أي الارض تقلني و أي السماء تظلني إذا قلت فى القرأن برأيي
“Bumi manakah yang akan menahanku dan langit mana yang akan meneduhiku jika aku menyatakan tentang al-Qur’an dengan akal pikiranku”
Dan Ibnu Taimiyah[10] juga berkata,
فمن قال فى القرأن برأيه فقد تكلف ما لا علم له به وسلك غير ما أمر به فلو اصاب المعنى فى نفس الامر لكان قد أخطأ لأنه لم يأت الأمر من بابه كما حكم بين الناس على جهل فهو فى النار وإن وفق حكمه الصواب فى نفس الأمر ولكن يكون اخف جرما.
“Barang siapa mengatakan tentang al-Qur’an dengan dasar pikirannya saja, maka berarti dia telah menentukan beban yang tidak ada ilmu di dalam hal ini, dan berarti telah menempuh hal yang tidak diperintahkan. Maka sekalipun dia mungkin tepat mengartikan hal itu, namun dia tetap bersalah karena dia tidak mendatangi sesuatu di pintunya, seperti halnya seorang hakim yang memutuskan perkara orang dengan kebodohan, maka dia akan masuk neraka sekalipun keputusannya itu sesuai dengan kebenaran. Tetapi hal itu hanya lebih ringan dasarnya dari pada orang berbuat salah.”
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.[11]
Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan, berpijak pada al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan ayat-ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian ayat-ayat di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah sendiri,
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا اياته وليتذكر اولوا الالباب. (ص : ٢٩)
“Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepada engkau penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal.” (QS. Shad : 29)
Tentunya jika tafsir bi al-ra’yi tidak boleh, maka ijtihad pun tidak boleh sehingga hukum banyak yang terkantung-kantung.
Di antara mereka ada yang menafsirkan al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan menyusupkan ajaran madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang. Hal ini antara lain dilakukan oleh Al-Zamakhshāriy dalam Tafsir Al-Kashshaf. Al-Zamakhshāriy dalam kitabnya menyisipkan paham Mu’tazilah, madzhab yang dianutnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh para ahli kalam yang menafsirkan ayat-ayat sifat dengan selera pemahamannya. Golongan ini lebih dekat dengan madzhab Ahli Sunnah daripada ke madzhab Mu’tazilah. Namun tatkala mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan pendapat sahabat dan tabi’in, maka mereka tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah dan ahli bid’ah lainnya.
E. Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir al-Maḥmūdah
Tafsir al-maḥmūdah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nas-nas Qur’aniyah.
Hukum tafsir bi al-ra’yi al-maḥmūd menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-maḥmūd atau tafsir al-mashrū’.[12]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang banyak dikenal, antara lain, adalah:
a.       Mafātiḥ al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b.      Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baiḍawi
c.       Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
d.      Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e.       Al-Bahr al-Muḥīṭ, oleh: Abū Hayyān
f.       Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Maḥalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭi
g.      Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
h.      Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
i.        Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j.        Rūḥ al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy. [13]
Selayang pandang beberapa kitab Tafsir bi al-ra’yi al-mahmūdah
a. Mafātiḥ al-Ghayb
Tafsir ini adalah karya Muḥammad bin ‘Umar bin al-Ḥasan al-Tamīmiy al-Tabaristaniy al-Rāziy (Fakhr al-Dīn al-Rāziy), masyhur dengan Ibnu al-Khatib al-Syafi’i al-Faqih. Dilahirkan di Ray pada tahun 543 H, dan wafat di Harah pada 606 H.
Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para hukama al-Ilāhiyyah, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran Mu’tazilah dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan yang kuat dan bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang ingkar dan menentang agama dengan uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh tafsir beliau ini merupakan yang terluas dalam membahas ilmu kalam.
Al-Razi juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama beliau dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta mengetengahkan bukti-bukti adanya Allah swt, disamping menentang ulah orang-orang yang tersesat.
b. Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl
Tafsir ini ditulis oleh Shaykh al-‘Ālim al-Zahīd ‘Abdullāh bin Ahmad al-Nasafiy. Wafat tahun 701 H. Tafsir ini dikenal juga dengan tafsir Al-Nasafiy (dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini sebuah tafsir besar, terkenal, mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan tafsir-tafsir al-ra’yi yang lain lebih ringkas dan sempurna.
Pengarang kitab Kashf al-Ẓunūn mengatakan, “Tafsir ini adalah kitab sederhana tentang takwil, namun mencakup seluruh segi i’rāb dan qirā’ah, mencakup segala keindahan ilmu al-badī’ dan isyarat, memuat beberapa pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dan jauh dari kebathilan kelompok-kelompok bid’ah dan menyesatkan. Kitab ini tidak panjang lebar, namun juga tidak pendek”.
c. Al-Baḥr al-Muhīṭ
Pengarang tafsir ini adalah Shaykh Muḥammad bin Yusūf bin Ḥayyān al-Andalusi. Wafat tahun 745 H. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu, meliputi nahwu, sharraf, balaghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan lain-lainnya, sehingga dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya memang mudah. Dinamakan Al-Baḥr al-Muhīṭ, karena didalamnya memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan materi tafsir.
2. Tafsir al-Madhmūmah
Tafsir al-madhmūm adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[14]
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf.[15] Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran  yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham mu’tazilah sering menggunakan al-amthīl (perumpamaan) dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur madzhab mereka, dan lain-lain. Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat Subhi Salih, tafsir al-Kashshaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.[16]
Hukum tafsir bi al-ra’yi al-madhmūmah adalah haram karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: ٣٦)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ (الأعراف: ٣٣)
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
F. Contoh-contoh Tafsir al-Madzmūmah
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة أعمى و أضـل سبيـلا (الإ ســــراء: ٧٢)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS, Al-Isra’: 72)
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (عمى القلوب),[17] dengan dalil firman Allah swt,
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى القلوب التي في الصـدور (الحـج: ٤٦)
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)

Ada juga dari golongan Mu’tazilah yang sangat keterlaluan dalam menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan pemikiran mereka sendiri, seperti terhadap firman Allah swt,
وكلم الله موسى تكليما (النساء : ١٦٤)
“dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung” (Al-Nisa’: 164)
Menurut pandangan mereka kata kallama (telah berbicara) dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam (berbicara), melainkan dari akar kata al-jarh (luka). Dengan demikian ayat tersebut bermakna, “Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang keterlaluan itu hanya untuk memperkuat aliran mereka.[18]
G. Penutup
1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama. Terhadap tafsir bi al-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bi al-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-madhmūmah.
2. Penutup
Demikian makalah ini kami sampaikan setelah diadakan revisi sebagai upaya penyempurnaan, baik dari segi penulisan atau pembahasan. Akhirnya kebenaran pembahasan dan penilaian makalah ini penulis pasrahkan kepada Allah swt, yang kepada-Nya kami menyembah dan memohon pertolongan, tentunya, Bapak Dosen Pembimbing Materi Studi al-Qur’an, dan para pembaca budiman. Tiada yang dapat penulis haturkan selain kata maaf sedalam-dalamnya atas kekhilafan serta kekurangannya dan ucapan terima kasih yang tiada batasnya kepada para pembaca sekalian dan khususnya Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Nasir, MA, selaku pembimbing. Semoga bermanfaat. Amin!

Daftar Pustakaan
‘Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.
Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985.
Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām al-Dirāyah li Qurrā’ al-Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
—————— Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: DEPAG RI, 1989.
Anwar, Rosihan. ‘Ulūm al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Maḥmūd, Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm. Manāhij al-Mufassirīn. Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 1978.


[1] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 220.
[2] Muḥammad Ḥusain Al-Dhahābiy, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. (Beirut: Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.), h. 25.
[3] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 220.
[4] Musa’īd Muslīm ‘Abdullāh, Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), h. 96.
[5] Mannā’al-Qaṭṭān, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt), h. 163-165; Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), h. 291-292;  Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān al-Suyūṭiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Mesir: Mustashfā al-Bāb al-Halabiy, 1951), h. 176, 180-181.
[6] Al-Dhahābiy, al-Tafsīr…, j. I, h. 275.
[7] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 220-221.
[8] Mannā’al-Qaṭṭān, Mabāhith…, h. 302
[9] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 222.
[10] Ibnu Taimiyah. Pengantar Ilmu Tafsir. (terj), h. 13.
[11] Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāhith…, h. 186;  Al-Dhahābiy, Al-Tafsīr…, j. I, h. 264.
[12]Muḥammad ‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), h. 157
[13] Ibid. h. 195.
[14] Ibid. h. 157-158; Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith…, h. 294
[15] Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith…, h.  294-295
[16] Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Manāhij al-Mufassirīn. (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 1978), h. 109; Al-Dhahabiy, al-Tafsīr …, juz I, h. 454-455
[17] Muḥammad ‘Aliy Al-Ṣābūniy, al-Tibyān…, h.  158.

[18] Ahmad Al-Shirbāṣi,. Sejarah Tafsir Qur’an. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 118-119.

0 comments :

Post a Comment