BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Jual
beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli
adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli
adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Sebagai
bagian dari hukum Islam yang mana merupakan suatu prinsip yang sangat besar dan
terdapat pijakan berupa keadilan dalam memperhatikan kemaslahatan manusia seluruhnya. Berdasarkan
prinsip-prinsip agung yang diuraikan dalam makalah
ini, dapat diketahui
bahwa muamalah dalam jual beli tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram kecuali jika ada
sesuatu yang diperingatkan, misalnya karena menjurus kepadaa kedzaliman terhadap salah satu
pihak, berupa riba, kedustaan, penipuan, dengan berbagai ragamnya, ketidaktahuan dan
pengecohan dengan segala jenisnya. Semua itu adalah contoh kedzaliman terhadap salah satu
pihak. Uraian dalam makalah ini hanyalah sekedar mengantarkan pada pemahaman pembaca dan sebagai alat bantu
dalam memudahkan pembaca dalam mendapatkan suatu informasi dan referensi baru terkait
permasalahan tentang muamalah
baik itu yang nantinya dapat berhubungan dengan jual beli.
Landasan
atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an,
Hadist Nabi, dan Ijma’. Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh ajaran
islam. Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai
berikut :
“…. Janganlah kamu
memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual
beli, suka sama suka….” (Q.S. An-Nisa’ : 29).
B.
Permasalahan
Setelah
kita tahu bagaimana latar belakang yang sudah di jelaskan oleh penyusun maka kita mendapatkan
beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi diteliti
lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penyusun
membatasi
masalah penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang jual beli, hukum dan macam-macamnya.
1.
Apa dasar
diperbolehkannya jual beli?
2.
Apa yang
dimaksud dengan jual beli?
C.
Tujuan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian dan dasar hukum jual beli.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui barang yang terlarang diperjual belikan.
3. Mahasiswa
dapat mengetahui rukun dan syarat
jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual
Beli
Jual
beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar dari kata بعت diucapkan يبيع-باء
bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena
masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil
dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعان.
Jual
beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’
adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
Pengertian
jual beli (البيع) secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk
memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Pengertian jual beli menurut para ahli :
a) Menurut
ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara
khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib
asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b) Menurut
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c) Menurut
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk
saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d) Tukar
menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan
sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh
al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e) Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh
al-Syafi’iyah)
f) Saling
tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul
dengan cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g) Penukaran
benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik
dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal. 126)
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati.
B. Landasan atas Dasar Hukum Jual Beli
a) Al
Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”
(QS. An-Nisa : 29).
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah : 275).
b) Sunnah
Nabi,
yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang
paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap
jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha
tipu-menipu dan merugikan orang lain.
c) Ijma’
Ulama
telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak
akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an
dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu,
hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Makruh. Jual beli hukumnya
sunnah,misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barangyang
diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi. Jual beli hukumnya wajib,
misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok
beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah
boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan
harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut
Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang
tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung
unsur penipuan. Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan
ituhukumnya makruh seperti rokok.
C. Rukun dan syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah
ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ (hukum islam).
1. Rukun
Jual Beli:
a)Dua
pihak membuat akad penjual dan pembeli
b) Objek
akad (barang dan harga)
c)Ijab
qabul (perjanjian/persetujuan)
d) Orang
yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )
2. Syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
a) Berakal,
jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
b) Baligh,
jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika
anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan
melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti :
permen, kue, kerupuk, dll.
c) Berhak
menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang
yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S.
An-Nisa’(4): 5):
3. Sigat
atau Ucapan
Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat,
bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli.
Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan
ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
4. Adapun
syarat-syarat ijab kabul adalah :
a) Orang
yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
b) Kabul
harus sesuai dengan ijab.
c) Ijab
dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.
5. Barang
Yang Diperjual Belikan
Barang yang diperjual-belikan harus
memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
a) Barang
yang diperjual-belikan itu halal.
b) Barang
itu ada manfaatnya.
c) Barang
itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
d) Barang
itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
e) Barang
itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
6. Nilai
tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar
barang yang dijual itu adalah:
a) Harga
jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
b)
Nilai tukar barang itu
dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum,
misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
c) Apabila
jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang
dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).
D.
Hal-hal
Yang Terlarang Dalam Jual Beli
a) Jual
beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi
sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
b) Jual
beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun
dan syarat-syaratnya.
c) Jual
beli yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu
rukun atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya
tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran islam).
d) Jual
beli yang sah tapi terlarang ( fasid ). Jual beli ini hukumnya sah, tidak
membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.
e) Terlarang
sebab Ahliah (Ahli Akad). Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sah
apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang
dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
Ø Jual
beli yang dilakukan oleh orang gila.
Ø Jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil. Terlarang dikarenakan anak kecil belum
cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.
Ø Jual
beli yang dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini terlarang karena ia tidak
dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.
Ø Jual
beli terpaksa
Ø Jual
beli fudhul adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Ø Jual
beli yang terhalang. Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau
pun sakit.
Ø Jual
beli malja’ adalah jual beli orang yang
sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.
Ø Terlarang Sebab Shigat. Jual beli yang antara
ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual
beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
§ Jual
beli Mu’athah. Jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan
dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.
§ Jual
beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakan kabul yang melebihi tempat,
akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ketangan orang
yang dimaksudkan.
§ Jual
beli dengan syarat atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan
tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
§ Jual
beli barang yang tidak ada ditempat akad. Terlarang karena tidak memenuhi
syarat in’iqad (terjadinya akad). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan
kabul.
§ Jual
beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan
suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
Ø Terlarang
Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan) Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan
alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi ’(barang jualan)
dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama,
tetapi diperselisihkan, antara lain :
§ Jual
beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.
§ Jual
beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual beli burung yang ada di udara,
dan ikan yang ada didalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
§ Jual
beli gharar adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)
§ Jual
beli barang yang najis dan yang terkena najis. Contohnya : Jual beli bangkai,
babi, dll.
§ Jual
beli air
§ Jual
beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang dikarenakan akan mendatangkan
pertentangan di antara manusia.
§ Jual
beli yang tidak ada ditempat akad (gaib)
tidak dapat dilihat. Jual beli sesuatu sebelum dipegangi. Jual beli buah-buahan
atau tumbuhan apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah
ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.
Ø Terlarang
Sebab Syara’. Jenis jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya
adalah :
§ jual
beli riba
§ Jual
beli dengan uang dari barang yag diharamkan. Contohnya jual beli khamar,
anjing, bangkai.
§ Jual
beli barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat pedagang dalam
perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegat barang itu
mendapatkan keuntungan.
§ Jual
beli waktu adzan jum’at.Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan
transaksi jual belidapat mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai muslim
dalam mengerjakan shalat jum’at.
§ Jual
beli anggur untuk dijadikan khamar .
§ Jual
beli barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan ternak yang
masih dikandung oleh induknya.
E.
Barang
Yang Dilarang Diperjual Belikan Dalam Islam
Islam
melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam
jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit
mencari minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu
pula segala bentuk penipuan dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya
terlarang. Saat ini kita akan melihat bahasan sebagai tindak lanjut dari
tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang.
Sebagai
agama yang lengkap telah memberikan petunjuk lengkap tentang perdagangan,
termasuk didalamnya barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai
pengusaha muslimsudah sepantasnya kita mempelajari masalah ini agar terhindar
dari perniagaan yang haram dan tidak di ridhoi allah.
Islam
adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak
terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan
hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli.
Allah SWT membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama
hidup di dunia ini.
Namun
dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun
syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli
yang dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan
ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual
beli tersebut dilarang. Diantara jual beli yang dilarang dalam islam tersebut
antara lain:
1.
Jual beli yang diharamkan
Tentunya
ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya.
Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang
menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan
dengan syariah Islam.
Begitu
juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang
yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual
menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan
berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.
2.
Barang yang tidak ia miliki
Misalnya,
seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang yang
dia cari tidak ada padamu. Kemudian ksmu/ente dan pembeli saling sepakat untuk
melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang
belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent pergi membeli
barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.
Jual
beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang
barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli
seperti ini. Istilah kerennya reseller.
Dalam
suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu 'anhu
berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm : “Wahai, Rasulullah.
Seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang
yang dicari tidak ada padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang
itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi]. “
3.
Jual beli Hashat.
Yang
termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan
undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai
dengan undian yang didapat. Sebagai contoh: Seseorang berkata: “ Lemparkanlah
bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga
sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah. Karena
mengandung ketidakjelasan dan penipuan.
4.
Jual beli Mulamasah.
Mulamasah
artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti
sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang kamu buka,
berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.
Jual
beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan
tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat
unsur pemaksaan.
5.
Jual Beli Najasy
Bentuk
praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar
barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih
tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan
memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya,
namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya
tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
Dan
Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di
dalam hadist :
"Janganlah
kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas penjualan
saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah
seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada
dalam bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim
[1413]).
Tentunya
masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam
agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya
diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum
diterima, kemudian makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang
lebih tinggi dari harga sekarang. Itu semua merupakan jual-beli yang dilarang
dalam Islam.
Semoga
kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu waspada
dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita mensuri
tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu dipercayai
dalam setiap ucapan, dan perbuatannya
Barang
yang tidak boleh diperjualbelikan:
1. Khamer (Minuman Keras)
Dari
Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi
saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah
diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226,
Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII:
308).
2. Bangkai, Babi dan Patung
Dari
Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika
Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.”
Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu
dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan
penerangan lampu oleh orang-orang?”
Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.” Kemudian Rasulullah saw pada
waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah
mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya,
kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no:
2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX:
377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII: 309).
3. Anjing
Dari
Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil
melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237,
Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no:
1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4. Gambar yang Bernyawa
Dari
Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra
tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya
Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.”
Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu
melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau
bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan
mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin
selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan
perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya,
“Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu
ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang
tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz
ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara
ringkas).
5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari
Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan
hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda)
sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
Darinya
(Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum
sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab,
“Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana
pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka
dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam
Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata
jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama;
Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917,
Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no:
1245 dan Nasa’i VII: 270).
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Setelah
kita menelaah dan menjumpai beberapa materi diatas. Maka dapat kita simpulkan
bahwa hukum jual beli pada
dasarnya diperbolehkan oleh ajaran islam. Kebolehan ini didasarkan kepada
kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :‘’ janganlah kamu
memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual
beli, suka sama suka...”(Q.S An-Nisa’ : 29) Dan Hadist Nabi SAW, yang artinya
sebagai berikut : “ Bahwa nabi SAW ditanya tentang, mata pencaharian apakah
yang paling baik ? jawabnya : seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri
dan setiap jual beli yang bersih”.(H.R. Al-Bazzar) Dalam pada itu ulama sepakat
mengenai kebolehan berjual beli ini sebagai salah satu usaha yang telah
dipraktekkan semenjak masa Nabi SAW hingga saat sekarang ini
Jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.
B.
Saran
Sebagai bentuk aplikatif makalah ini tentunya
mempunyai beberapa daya guna di dalam ruanglingkup masyarakat terutama dalam
pemahaman yang lebih spesifik dalam jual beli. Jadi, yang patut diingat adalah
Islam mempunyai aturan yang didalamnya tentu tidak pernah memberatkan kita
sebagai muslim yang menjalankannya.
Semoga kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga akan mendatangkan Rahmat dan Ridha Allah dalam perjalanan
hidup kita.. amiiin
0 comments :
Post a Comment