Tuesday, November 11, 2014

MAKALAH PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WALI AKAD NIKAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Perbedaan adalah suatu hal yang wajar terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali dalam masalah penentuan hukum atas suatu masalah yang terjadi. Tingkat keilmuan, sumber pegangan, dan banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab timbulnya sebuah perbedaan.
Salah satu masalah dari sekian masalah yang dibahas dalam kajian perbandingan mazhab yaitu tentang kedudukan wali terhadap sah tidaknya suatu akad pernikahan yang dilangsungkan. Berbagai pendapat muncul sebagai tanggapan/ jawaban dari masalah ini. Hal ini dikarenkan tidak adanya dalil nash yang secara jelas menentukan status wali dalam pernikahan.
B.     Permasalahan
Setelah kita tahu bagaimana latar belakang yang sudah di jelaskan oleh penyusun maka kita mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi diteliti lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penyusun membatasi masalah penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang Perbedaan Pendapat tentang Wali Akad Nikah.
1.      Apa yang dimaksud dengan wali?
2.      Bagaimana Perbandingan Madzhab tentang wali?
C.    Maksud dan Tujuan
1.      Penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah perbandingan madzhab.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui pengertian wali dalam pernikahan
3.      Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syarat wali akad nikah.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui lebih jauh tentang pendapat berbagai madzhab tentang wali
5.      Mahasiswa dapat menelaah tentang pembagian wali.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wali Nikah
Secara bahasa, wali mempunyai beberapa arti di antaranya as-shadiq (teman, sahabat), an-nashir (yang menolong), dan man waliya amra ahadin (orang yang mengurus perkara seseorang). Sedangkan yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.
Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Sementara itu, menurut Al Jaziri yang dimaksud dengan wali dalam pernikahan adalah orang yang karenanya bergantung sahnya akad (nikah), dan akad tidak dianggap sah tanpanya.
B.     Syarat-syarat Wali Nikah
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki-laki
6.      Adil.[4]
C.    Pembagian Wali Nikah
  1. Wali mujbir (مجبر)
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak mengawinkan beberapa orang yang padanya terdapat hak perwalian tanpa izin dan ridha/ kerelaan orang yang diwakili tersebut.
  1. Wali ghairu mujbir (مجبر غير)
Wali ghairu mujbir adalah wali yang mempunyai hak mengawinkan tetapi tidak sah baginya mengawinkan tanpa izin dan ridha dari orang yang padanya terdapat hak perwalian.
D.    Urutan Wali Nikah
Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu di tangan anak laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturut-turut: cucu laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan seterusnya.
Maliki mengatakan wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun hasil zina) manakala wanita tersebut punya anak, lalu berturut-turut: saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, kakek, paman (saudara ayah), dan seterusnya, dan sesudah semuanya tidak ada, perwakilan beralih ke tangan hakim.
Sedangkan menurut Syafi’i, urutan wali adalah: ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudarah ayah), anak paman, dan seterusnya, apabila semuanya tidak ada, perwalian beralih ke tangan hakim.
Hambali memberikan urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudian yang terdekat dan seterusnya, mengikuti urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ke tangan hakim.
Imamiyah mengatakan bahwa perwalian itu hanya di tangan ayah dan kakek dari pihak ayah, serta -dalam kasus-kasus tertentu- hakim.
E.     Perbandingan Madzhab tentang Wali Nikah
Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak bisa menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan sendirinya tanpa restu seorang wali.
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun janda. Dengan syarat, orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi jika dia memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatakan akad nikahnya.
Mayoritas Ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat, disebabkan oleh kebalighan dan kematangannya itu, berhak bertindak melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan perkawinan, baik dia perawan maupun janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya, maupun tidak, diresui ayahnya maupun tidak, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat jelata, kelas sosial tinggi maupun rendah, tidak ada seorang-pun yang melarangnya. Ia punya hak persis kaum lelaki. Para penganut mazhab Imamiyah beragumen dengan firman Allah SWT berikut ini:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& t ÇËÌËÈ 
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (Q.S Al-Baqarah : 232)
Sedangkan Daud (Az Zhahiri) berpendapat bahwa nikah itu (nikah yang dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya, Pen) sah kalau wanita itu bukan perawan (janda), dan bathal kalau wanita itu perawan.
Ulama yang berpendapat perlunya wali (dalam pernikahan) bersepakat membaginya menjadi dua bagian, yaitu wali mujbir dan wali ghairu mujbir. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bersepakat bahwa wali mujbir yaitu ayah dan kakek. Namun ulama Malikiyah berbeda pendapat dan berkata bahwa wali mujbir itu hanya ayah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah bersepakat bahwa orang yang mendapat wasiat dari ayah (washi al ab) untuk mengawinkan itu termasuk kategori wali mujbir sebagaimana ayah, berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang tidak menyebutkan washi al ab. Ulama Hanabilah menambahkan bahwa hakim juga termasuk mujbir ketika dibutuhkan.
Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci tentang dalil-dalil yang menerangkan tentang kedudukan wali dalam pernikahan baik yang mengharuskan adanya wali maupun yang tidak.
Dalil-dalil ulama yang mensyaratkan wali
Ø  Dalil Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah: 232
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& ( ÇËÌËÈ  
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.(Q.S Al-Baqarah : 232)
Mereka (ulama yang mensyaratkan wali, pen) mengatakan bahwa ayat ini khitab-nya (yang diajak bicara) itu kepada para wali, jika mereka (wali) tidak mempunyai hak dalam perwalian, maka niscaya mereka tidak dilarang untuk menghalangi (pernikahan).                                                                                   
QS. Al-Baqarah: 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 ÇËËÊÈ 
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
QS. An-Nur: 32
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
      Ibarat nash ketiga ayat tersebut di atas tidak menunjukkan keharusan adanya wali; karena yang pertama larangan menghalangi perempuan yang habis iddahnya untuk kawin, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitab Allah berkenaan dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham daripada keharusan adanya wali dalam perkawinan. Dari pemahaman ketiga ayat tersebut di atas jumhur ulama menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.
Dalil Hadis
1.      Hadis dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa riwayat Ahmad dan Imam Empat.

Tidak sah nikah kecuali dengan wali.
2.      Hadis dari 'Aisyah ra riwayat Imam Empat kecuali Nasa'i.

Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil.”
3.      Hadis dari Abu Hurairah ra riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. 

Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya.
Dalil-dalil ulama yang tidak mensyaratkan wali
Dalil Al-Qur’an
1.      QS. Al-Baqarah: 232
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.
2.      Al-Baqarah ayat 230:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
3.      Al-Baqarah ayat 234:
Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Ayat pertama di atas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Ayat kedua dengan jelas menyatakan perempuan itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin). Dalam ketiga ayat tersebut fa’il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan adanya wali.
Dalil Hadis
1.      Dari Abu Hurairah ra riwayat Muttafaq Alaihi        
"Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan Seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam."    
2.      Hadis dari Ibnu Abbas riwayat Imam Muslim.

 “Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya."
F.     Pengaruh Psikologis Adanya Wali Nikah
Anak laki-laki, apabila ia telah mencapai usia akil baliq, telah sepenuhnya matang, dan berakal sehat, adalah bebas untuk menentukan pilihannya, dan tak seorangpun berhak campur tangan. Namun dalam hal anak perempuan, ada sedikit perbedaan. Apabila seorang anak perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda, tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri urusannya, dan kedudukannya dalam hal ini sama dengan kedudukan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan itu seorang perawan dan hendak memasuki ikatan perkawinan dengan seorang pria untuk pertama kalinya, maka bagaimanakah situasinya?.
Bahwa si ayah tidak berwenang mutlak atas putrinya dalam hal ini, dan tidak dapat mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Kita telah melihat bahwa Nabi, dalam jawaban beliau kepada gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya itu, dengan jelas menegaskan bahwa apabila si gadis tidak menyetujuinya, ia boleh kawin dengan pria lain. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fakih (ahli fikih Islam) tentang apakah seorang gadis yang belum pernah kawin tidak mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya, atau apakah persetujuan si ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya.
Akan tetapi, ada hal lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka haknya dicabut, dan terdapat kesepakatan bulat di antara semua fakih Islam bahwa dalam keadaan demikian maka si putri sepenuhnya bebas untuk memilih suaminya.
Sekalipun ada perbedaan pendapat tentang wanita menjadi wali, wajib bagi wali untuk terlebih dahulu menanyakan pendapat calon istri dan mengetahui keridhaannya sebelum diakad nikahkan. Hal ini karena perkawinan merupakan pergaulan abadi dan persatuan suami istri, kelanggangan, keserasian, kenalnya cinta dan persahabatan yang tidaklah akan terwujud apabila keridhaan pihak calon istri belum diketahui sebelumnya. Karena itu Islam melarang kita menikahkan dengan paksa baik gadis maupun janda, dengan pria yang tidak disenangnya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut.

BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Setelah kita menelaah dan menjumpai beberapa materi diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa Wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain (mempelai perempuan) yang padanya bergantung sahnya sebuah pernikahan.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah adanya wali dalam pernikahan merupakan suatu keharusan, jika tidak ada wali maka pernikahan dianggap batal. Baik perempuan tersebut masih perawan maupun janda, besar maupun kecil, berakal maupun gila. Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa adanya wali itu hanya pada perempaun yang masih kecil dan yang sudah besar tapi gila. Adapun untuk perempuan yang sudah baligh dan berakal baik perawan maupun janda punya hak dalam menikahkan dirinya sendiri.
  1. Saran
Sebagai bentuk aplikatif makalah ini tentunya mempunyai beberapa daya guna di dalam ruanglingkup masyarakat terutama dalam pemahaman yang lebih spesifik dalam masalah perwalian. Jadi, yang patut diingat adalah Islam mempunyai aturan yang didalamnya tentu tidak pernah memberatkan kita sebagai muslim yang menjalankannya.
Semoga kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan mendatangkan Rahmat dan Ridha Allah dalam perjalanan hidup kita.. amiiin

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Muthahhari, Murtadha. 1997. Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerj. M. Hashem. Jakarta: Lentera.





0 comments :

Post a Comment