Wednesday, November 12, 2014

Makalah Ilmu Kalam

BAB 1
Pengertian Ilmu Kalam
1.      Ontologi
1.1  Pengertian
Kalam  menurut bahasa ialah ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ke-Tuhanan/ketauhidan (meng-Esakan Tuhan), atau kalam menurut loghatnya ialah omongan atau perkataan[1].
A.         Menurut istilah Ilmu Kalam ialah sebagai berikut:
1.      Menurut Syekh Muhammad Abduh
definisi Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz bagi-Nya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan dari-Nya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil dari mereka[2].
2.      Menurut Musthafa Abdul Razak
 Ilmu Kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani yang di bangun dengan argumentasi-argumentasi rasional[3].
3.      Menurut Hasbi Al-Shidiqy

B.            Secara etimologi ilmu kalam dapat didefinisikan sebagai berikut:
Dalam istilah bahasa Arab dan dalam Islam, Ilmu Kalam lebih dikenal sebagai Ilmu tawhid. Kata tawhid merupakan kata kerja (fi’il/verb) tsulasi mazid yang mengikuti pola/wajan (fa’ala-yufa’ilu taf’ilan), yaitu; wahhada-yuwahhidu-tauhidan: wa wahhada Ta’ala: Amana bihi Ta’ala wahdahu. Artinya mengEsakan Allah SWT[4]. Maksudnya, i’tiqad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, Satu[5]. Pengertian ini juga sejalan dengan pengertian tawhid dalam bahasa Indonesia, yaitu; “keesaan Allah’, mentawhidkan Allah berarti “mengakui keesaan Allah, mengesakan Allah”[6].
Selanjutnya teologi Islam disebut pula ilmu kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalam juga bisa mempunyai maksud dan artian sabda Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ilmu kalam, sabda Tuhan (Al-Qur’an) pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan sesama umat Muslim pada saat itu.

1.2 Sumber
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber Ilmu Kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah :[7]
1. Q.S Al-Ikhlas
(112) : 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
2. Q.S Asy-Syura
(42) : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
3. Q.S Al-Furqan
(25) : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya.
4. Q.S Al-Fath
(48) : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada di atas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
5. Q.S Thaha
(20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
6. Q.S Ar-Rahman
(55) : 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak selama-lamanya.
7. Q.S An-Nisa’
(4) : 125. Ayat  ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama. Seseoarang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
8. Q.S Luqman
(31) : 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah disebut sebagai orang muhsin.
9. Q.S Ali Imran
(3) : 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali
segala sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara sadar.
10. Q.S Ali Imran
(3) :84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan
petunjuk jalan kepada para nabi.
11. .S Al-Anbiya
(21) : 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku,
ras, atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya.
12. Q.S Al-Hajj
(22) : 78. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya hanya karena Allah SWT semata.
B. Hadist
Hadits Nabi saw Pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Diantaranya adalah Hadits yang artinya “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya, pada suatu hari ketika Rasulullah saw. Berkata bersama kaum muslimin, datanglah seorang laki-laki kemudian bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ‘apakah yang dimaksudkan dengan iman?’ Rasul menjawab,’ Yaitu, kamu percaya kepada Allah, para malaikat, semua kitab yang diturunkan, hari pertemuan dengan-Nya, para rasul dan hari kebangkitan. ‘Lelaki itu bertanya lagi,’Wahai Rasulullah, apakah pula yang dimaksudkan dengan Islam? Rasulullah menjawab, Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan shalat yang telah difardhukan, mengeluarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.’ Kemudian lelaki itu bertanya lagi,’Wahai Rasulullah! Apakah ihsan itu? Rasulullah saw menjawab,  ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu.’ Lelaki tersebut bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, bilakah aku tidak lebih tahu darimu, tetapi aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila seorang hamba melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya. Apabila seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga tandanta. Apabila masyarakat yang asalnya pengembala kambing mampu bersaing dalam mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda akan terjadi kiamat. Hanya lima perkara itu saja sebagian dari tanda-tanda yang kuketahui. Selain dai itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya.’ Kemudian Rasulullah saw, membaca surat Luqman ayat 34,’Sesungguhnya Allah lebih mengetahui bilakah akan terjadi hari kiamat, disamping itu Dialah juga yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim ibu yang mengandung. Tiada seorang pun mengetahui apakah yang diusahakannya pada keesokan hari, yaitu baik atau jahat, tiada seorang pun yang mengetahui di manakah dia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi amat meliputi pengetahuan-Nya.’ Kemudian lelaki itu beranjak dari situ. Rasulullah saw terus bersabda kepada sahabatnya,’Panggil orang kembali itu.’ Lalu para sahabat mengejar kea rah lelaki tersebut dan memanggilnya kembali, tetapi lelaki tersebut telah hilang. Rasulullah saw. Pun bersabda, ‘lelaki tadi adalah Jibril a.s. kedatangnnya adalah untuk mengajar manusia tentang agama mereka. Ada pula beberapa hadits yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam. Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad yang sangat banyak[8].
Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah berasal dari beberapa sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Huairah, Abu Ad-Darda, Jabir, Abu said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
C. Pemikiran Manusia
Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam.
Sebenarnya umat Islam telah menggunakan rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama dengan yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Quran, diantaranya :
Q.S Muhammad (47) : 24
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”
Q.S Qaf (50) : 6-7
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ وَالأرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya :
 “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata”[9].
Ayat serupa dapat ditemukan pada An-Nahl (16) : 68-69, Al-Jaatsiyah(45) : 12-13; Al-Isra’ (17) : 44; Al-An’am (6) : 97-98; At-Taubah (9) : 122; Ath-Thariq (86) : 5-7; Al-Ghatsiyah (88) : 7-20; Shad (38) : 29; Muhammad (47) : 24; An-Nahl : 17; Az-Zumar (39) : 9; Adz-Dzariyat (51) : 47-49, dan lain-lain.
1.2                      Latar belakang
Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan faktor dari luar ( extern)
a.   Faktor Intern. Faktor-faktor intern yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga macam, yaitu:
b.   Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada tiga factor penting, yaitu:
1.      Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongan-golongan dan agama, yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.
2.      Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru , dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama .
3.      Masalah –masalah politik
1.      Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
2.      Sesungguhnya golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi islam.
3.      Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami ( tokoh Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa pendapatnya.
4.      Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
5.      Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat, maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu. Tetapi Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum.

2.      Epistemologi
Kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti memiliki sistematika dan metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam adalah metode Jidal (debat). A. Rozak menyebutnya dengan Metode Keagamaan[10]. Alasannya, karena para mutakalimun (teolog)  untuk mempertahankan keyakinan dan argumentasinya selalu dengan dengan perkataan atau dengan perdebatan, sehingga orang yang ahli dalam kalam disebut muatakalimun. Sebagai sebuah diskusi keagamaan, maka wacana kalam, objek kajiannya adalah keyakinan kebenaran tentang ajaran Agama Islam, bukan mencari kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat[11].
Membaca Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari keabsahan epistemologi masing-masing aliran ilmu kalam, penulis beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas, nampaknya kalangan ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan maturidiyah) yang masih kuat berpegang kepada wasiat Nabi saw untuk senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu ekstrim dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama Islam dari serangan-serangan pemikiran agama lain dan kaum atheis[12].

3.      Aksiologi (manfaat/kegunaan)
Setiap disiplin ilmu harus mempunyai nilai guna atau manfaat bagi orang yang mempelajarinya, diantaranya, diantara nilai guna ilmu kalam paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut;
1.      Untuk mempertahankan kebenaran keyakinan ajaran Agama Islam;
2.      Menolak segala pemikiran yang sengaja merusak atau menolak keyakinan Islam yang sesuai dengan terminologi bid’ah;
3.      Terlindungi dari kemunculan aliran-aliran yang menyesatkan[13].

BAB 2
Perkembangan Aliran
1.      Khawarij
a.       Latar belakang munculnya
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
Persoalan pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat, menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.
b.      Doktrin Khawarij
Khawarij sebagaimana dikemukakan oleh al-Bagdadi, yang meliputi[14];
1.      Mengutuk Ali, Utsman, dan dua orang penengah (Amr bin ‘Ash dan Abu Musa asy-Asy’ari), orang-orang yang terlibat dalam perang onta (jamal)dan semua orang yang puas dengan takhim dari kedua orang penengah tersebut;
2.      Mengutuk sebagai orang kafir, lebih umumnya, siapa saja yang melakukan dosa besar; dan
3.      Menganggap sebagai kewajiban bagi setiap orang yang beriman untuk memberontak terhadap penguasa yang tidak adil (al-Imam al-jair).
c.       Kelebihan dan kekurangan doktrin
1.      Kelebihan
a.       Pembelaan terhadap situasi negara dan didasarkan dalam Al-Qur’an;
b.      Berfikir selalu komunalistik tidak individualistik;
c.       Tidak pernah mengikuti adanya kharisma khusus kepada pemimpin;
2.      Kelemahan
1.      Keras kepala dan memudahkan dalam hal ibadah dan yang lainnya;
2.      Pelaku dosa besar adalah kafir.
d.      Pengikut di Indonesia
Aliran khawarij ini sebenarnya tidak ada di Indonesia. Kenapa dibilang tidak ada? Karena  aliran keras ini tidak cocok dengan budaya Indonesia yang selalu berpegang teguh kepada nenek moyang dan adat istiadat, apabila ada di Indonesia bukan mustahil banyak pertikaian. Akan tetapi ciri-ciri khawarij ini sama hal nya pelaku teroris saja di Indonesia itu pun benar-benar minoritas.
2.      Murji’ah
a.       Latar belakang
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama hijriyah. Dinamai Murji’ah karena lafadz itu berarti menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat bahwa orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, sehingga matinya tidak juga bertaubat, orang itu belum dapat kita hukum sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Alah SWT setelah hari kiamat.
Pendapat lain asal-usul atau timbulnya aliran Murji’ah adalah al-Irja’a yang mempunyai dua arti, yaitu :
1.      At Taakhir, yang artinya mengkemudiankan atau menunda. Pengertian ini menunjukkan bahwa aliran Murji’ah menunda amal dari niat;
2.      I’thoarojaah, maksudnya memberi pengharapan. Pengertian ini menunjukkan bahwa iman seseorang itu tidak rusak karena perbuatan dosa, begitu pula perbuatan kafir tidak merusak ketaatan.
b.      Doktrin
1.      Sebagian dari ajaran-ajaran aliran Murji’ah itu berangapan bahwa iman itu mengenal kepada Allah dengan segala kelengkapannya tetapi hanya urusan hati saja. Untuk urusan lahiriyahnya (amal perbuatan) tidak termasuk jangkauan iman. Barang siapa iman tetapi melakukan dosa besar bagi mereka tetap mukmin dan hukumnya diserahkan kepada Allah. Menurut mereka, iman itu bertempat dalam hati sanubari, jadi mukmin yang tulen adalah mukmin dengan hati itu sekalipun nampaknya ia melahirkan kekafiran dengan lisannya.
2.      Golongan ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, tidaklah akan memberi manfaat dan memberi faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya. Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah akan diberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafir. Oleh sebab itu, golongan ini sekali-kali tidaklah mau mengkafirkan seseorang yang telah masuk Islam, sekalipun bagaimana besarnya maksiat yang diperbuatnya, asal ia menganut agama Islam dan mengucapkan dua kalimat Syahadat.
3.      Perbuatan maksiat dan dosa-dosa yang dikerjakannya itu terserah hukumnya kepada Allah SWT. Walaupun perbuatannya itu sampai akhir hayatnya tetap demikian, orang itu dihukumkan juga golongan mukmin yang sempurna imannya disisi Allah SWT.
c.       Klebihan dan kekurangan doktrin
1.      Kelebihan dari aliran ini adalah golongan ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, “tidaklah akan memberi manfaat dan memberi faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya”. Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah akan diberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafir. Maka dari itu, mereka tidak mau mengkafirkan seseorang yang telah masuk Islam, sebab golongan ini sagat mementingakan kewajiban sesama manusia.
2.      Kekurangan aliran ini adalah lebih mementingkan urusan dunia dari pada akhirat. Karena menurut mereka, iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syariat.
Firman Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 28 :
الّذين امنوا وتطمئنّ قلوبهم بذكر الله قلى الا بذكر الله تطمئنّ القلوب
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram”.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT dan rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya. Seperti berbuat dosa, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
Firman Allah SWT dalam surat Al Anfal ayat 2 disebutkan :
واذا تليت عليهم اياته زادتهم ايمانا (الانفال : 2)
Artinya : “Dan apabila dibacakan terhadap ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat itu menambah iman mereka”. (Al Anfal : 2).
d.      Pengikut di Indonesia
Pengikut aliran ini di Indonesia mungkin tidak ada, karena ini adalah salah satu aliran yang bisa dikatakan radikal dan ekstrim. Apabila orang salah memahaminya bisa salah kaprah nantinya. Tapi, bukan tidak mungkin di Indonesia ini ada, dan yang lebih mencolok dari kita itu adalah sifat kita kebanyakan jika sudah mentok dalam satu hal kita cenderung memakai paham Aliran Murji’ah ini.
3.      Jabariyah
a.       Latar belakang
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al- Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti Memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predisnation, yaitu Paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.
      Paham Al-Jabar pertama kali dikenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm Bin Shafwan dari Khurasa. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jamhiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekertaris Suraih bin Al-haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani umaiyah. Namun dalam perkembangannya, paham Al- Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainya diantaranya Al- Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Lebih lanjut, Harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, Masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.Akhirnya,mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sifatfatalism.
b.      Doktrin
1.      Al- Quran itu adalah Mahkluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru itu tidak dapat di sefatkan kepada Allah.
2.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahkluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3.      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
c.       Kelebihan dan Kekurangan Doktrin
1.      Kelebihan
Aliran ini bisa dalam hal penelaahan zat Tuhan dan Makhluk dan ini sangat penting bagi kita semua.
2.      Kelemahan
a.       Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha).
b.      Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka.
c.       Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa.
d.      Pengikut di Indonesia
Pengikut Aliran ini di Indonesia tidak ada karena bisa menyesatkan semua bangsa Indonesia khususnya umat muslim dan umumnya bisa ke semua agama. Bukan hanya pada tatanan agama saja akan berdampaknya aliran ini, akan tetapi akan berdampak pada perekonomian dan budaya bangsa.Sedangkan di Indonesia ini budaya dan ras nya heterogen. Sudah barang tentu, banyak sekali penolakan dari bangsa Indonesia jika ada aliran semacam ini.
4.      Mu’tazilah
a.       Latar belakang
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
b.      Doktrin
1.      Al-Twahid
Tuhan adalah Maha Esa.
2.      Al-‘Adl
Tuhan wajib berbuat adil segala kehendak Tuhan tidak boleh bertentangan dengan paham keadilan.
3.      Al-Wa’du Wa al-Wa’id
Ini berarti janji atau acaman, bahwa Tuhan tidak adil jika tidak menghukum orang yang berbuat dosa dan tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
4.      Al-Manzilah Baina Al-Manzilatayn
Bahwa orang yang berbuat dosa besar menempati temat khusus . Tidak kafir dan tidak pula mu’min.
5.      Al-Amr bi al-Ma’ruf-wa al-Nahyi ‘An al-Munkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat buruk/jahat, erat kaitannya dengan pembinaan moral.
c.       Kelebihan dan Kekurangan Doktrin
1.      Kelebihan
a.       Dalam berpolitik Islam Mu’tazilah ini sangat bagus;
b.      Dalam kemajuan peradaban juga aliran ini baik sekali karena mendukung peradaban Islam;
c.       Banyaknya tokoh-tokoh Ilmuwan dalam Islam dari aliran Mu’tazilah ini.
2.      Kelemahan
a.       Aliran ini berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk (bukan diciptakan bukan qodim);
b.      Adanya tida tempat dan tempat yang tengah itu untuk orang yang bisa dikatakan antara berdosa dan tidak.
d.      Pengikut di Indonesia
Kalau melihat secara stereotip ini mungkin ada di kawasan atau negara Indonesia, karena pahamnya ada kesamaan dengan aliran tertentu di Indonesia. Akan tetapi mungkin golongan ini hanya untuk kaum intelektual seperti Muhammadiyah, rasanya kurang layak untuk NU karena bertentangan dengan tradisi. Beda hal nya dengan muhammadiyah / persis dan yang lainnya cenderung moderat dan liberal.
5.      Asy’ariyah
a.       Latar belakang
Aliran ini didirikan oleh Al-As-ari. Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu Al-hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurutgalk beberapa riwayat, Al-asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H / 935 M. Menurut ibnu Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlulsunah dan ahli hadist.ia wafat ketika al asy’ari masih kecil.sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama zakaria bin yahya as-saji agar mendidik al-asy’aria.ibu al-asy’ari sepeninggal ayahnya,menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah yang bernama abu ali al-jubai (w.303H ¬/915) Ayah kandung abu hasyim al-jubbai (w.321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu,AL-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia seiring menggantikan Al-jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu,banyak menulis buku yang membela alirannya .

AL-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun setelah itu,secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah. Bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tzilah dan menunjukun keburukan-keburukannya.( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal.120) dan berpidato ’’wahai manusia ! Barang siapa di antara kamu yang kenal pada saya,saya akan memperkenalkan diri saya bahwa saya ini adalah Abul hasan AL-Asy’ari,yang beberapa waktu meyakini bahwa quran itu mahluk dan baru,dan bahwa allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa perbuatan jahat itu saya sendirilah yang mengerjakan,bukan dengan qada dan qadar,saya sudah tobat dan saya sekarang menentang paham Mu’tazilah.tentang kesalahan pendirinya.
b.      Doktrin
a.    Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat di hindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandanga ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya.
Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
b.    Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.    Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.
d.    Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazillah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qodim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
e.    Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa allah bersemayam di Arsy. Selain itu, itu ia tidak sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digaambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.    Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.  sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.    Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr. ( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ibid. hal. 121-124)


c.       Kelebihan dan Kekurangan Doktrin
1.      Kelebihan
a.       Tidak terlalu menggunakan akal rasional aliran ini selalu menggunakan keyakinan saja.
b.      Tidak radikal atau ekstrim selalu berjamaah
2.      Kelemahan
a.       Asy’ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
b.       Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
c.       Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
d.      Pengikut di Indonesia
Pengikut aliran ini di Indonesia banyak sekali dan mayoritas ini. Kita bisa ketahui penganut paham atau aliran ini seperti halnya orang-orang NU. Aliran Asy-‘ariyah ini beradaptasi dengan budaya, ras, dan kebiasaan. Jadi banyak penganutnya.
Kesimpulan



Daftar Pustaka

Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam,1998, Bandung : CV. Pustaka Setia
Abdul Rojak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam , Pustaka Setia, Bandung, 2006
Abdul Rozak, dkk. 2006. Ilmu kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan , 
           UI  Pers, Jakarta
Nouruzzaman Siddik, Syi’ah dan Khawarij, PLP2M, Yogyakarta, 1985
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta: 2001
Abdul Razak, Mustafa. Tahmid Li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Lajnah
wa at-Thalif wa-Attarjamah wa Nasyir, 1959
Asmuni, M. Yusran. Ilmu Tauhid. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996



[1] Drs. H. Bakri Dusar. Tauhid dan ilmu kalam. Hal: 3
[2] Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Bulan bintang. Jakarta.1965. Hal:25
[3] Mustafa Abd. Razak. Tahmid li tarikh al-fasafah al-islamiyah, lajnah wa at-thalif wa-attarjamah wa nasyir, 1959. hal: 265
[4] Lihat, Luis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al’alam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal 890.
[5] M. Yusran Asmuni, Ilmu Tawhid, (Jakarta: LSIK dan Raja Grafindo, 1996), hal. 1
[6] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hal. 907-908
[7] Abd Al-Qadir bin Thahir bin Muhammad Al-Ishfiraini At-Taimi, Al-Farq bain AlFiraq, Muhammad Ali Shahib wa Auladuh, Mesir,1037, hal. 810
[8] Hadits Web. 3.0, Kumpulan dan Refensi Belajar Hadits, Al-Qur’an dan terjemahannya. 2008.

[9] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an  & Terjemahnya, h.601.
[10] Lihat, A. Razak, Metode Studi Islam, (Bandung: Media Utama Pusakatama, 2001), hal. 86
[11] Lihat, Rohanda WS & Dadan Firdaus, Ilmu Kalam; Untuk Mahasiswa, (Bandung: Najwapress, 2010), hal 19
[12] Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003)
[13] Lihat, Rohanda WS & Dadan Firdaus, Ilmu Kalam; Untuk Mahasiswa, (Bandung: Najwapress, 2010), hal 19
[14] Abu Mansyur al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, (Cairo, 1910, hal. 55)

0 comments :

Post a Comment