Thursday, November 13, 2014

Makalah Filsafat Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Dalam kajian filsafat, kita mengenal beberapa aliran filsafat pendidikan, dimana antara satu dan yang lainnya memiliki tipologi masing-masing. Benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu terra besar yang menjadi inti dari masing­masing aliran itu.
Secara sederhana, semua aliran merupakan bentuk pertentangan dari cara pandang yang telah berlaku secara menyeluruh, untuk kemudian ditemukan formula baru dalam memandang. Pola, komunikasi yang semacam inilah yang membuat filsafat sampai kini masih selalu menarik untuk bahan kajian yang diminati banyak orang. Yang menarik dari semua itu adalah bahwa dari berbagai tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan cara pandang tersebut sebagai pilau analisis, tetapi hampir berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan sosial.
Dalam filsafat pendidikan banyak sekali aliran-aliran, seperti aliran Perenialisme, progrestivisme, esensialisme, eksistensialisme, idealisme, dan rekontruksisme. Dalam aliran-aliran yang telah disebutkan diatas masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Akan tetapi yang dibahas dalam makalah ini hanya membahas tentang "filsafat pendidikan eksistensialisme".
B.     Permasalahan
Setelah kita tahu bagaimana latar belakang yang sudah di jelaskan oleh penulis maka kita mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi diteliti lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penulis membatasi masalah hanya untuk mengkaji Filsafat Pendidikan Eksistensialisme.
1.      Bagaimana pandangan filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan?
2.      Apa tujuan Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
3.      Bagaimana peranan guru dalam dunia pendidikan menurut filsafat aliran eksistensialisme?





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat.. benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard (Denmark, 1813- 1855). Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar : Apa kehidupan manusia ? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna « eksis » (berada).
Bagi ekistensialisme, benda-benda materi, alam fiisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dengan manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusian secara langsung.
Diantara pandangan-pandangan eksistensialisme ialah sebagai berikut :
a.       Motif pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.

b.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c.       Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d.      Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial (1980).
B.     Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul pada suatu tingkatan dan ikatan kepekaan persponal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang menberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka, dan menarik kesimpulan. Menurut pandangan eksistensialisme tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari pada yang lainnya itu semua dikembalikan kepada diri manusianya masing-masing.
Dengan mata pelajaran tersebut siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebanaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan dan mati. Semua itu merupakan tema-tema yang aklan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional.

Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humanyora dan seni, karena kedua aspek tersebut diperlukan individu untuk dapat mengintropeksi dan mengenalkan gambaran dirinya.

Pelajar secara perorangan harus menggunakan pengalaman-pengalaman lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual untuk mencapai kepenuhan diri dan lebih menekankan kepada berpikir reklektif. Sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya dan lebih baik.
C.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
D.    Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
E.     Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.


























BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Setelah kita menelaah dan menjumpai beberapa materi diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa  pandangan-pandangan eksistensialisme ialah sebagai berikut :
a.       Motif pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
b.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c.       Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d.      Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial (1980).
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
B.     Saran
Kaidah yang paling utama yang sangat berperan penting dalam kehidupan menurut pandangan penulis adalah pemikiran. Kita harus bisa membudayakan pemikiran, pemikiran yang bisa menghasilkan budaya itu merupakan tujuan pendidikan. Maka dari itu, penulis mengharapkan makalah ini bisa menjadi momentum pembelajaran untuk kita semua dan menjadi referensi dalam disiplin Ilmu Kependidikan Islam.











DAFTAR PUSTAKA

Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
Saduloh, Uyoh. 2009. Filsafat Pendidikan. Alfabeta : Bandung




0 comments :

Post a Comment