PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dalam kajian filsafat, kita mengenal
beberapa aliran filsafat pendidikan, dimana antara satu dan yang lainnya
memiliki tipologi masing-masing. Benturan antar aliran akan banyak ditemui,
terutama setelah satu pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu terra
besar yang menjadi inti dari masingmasing aliran itu.
Secara sederhana, semua aliran merupakan
bentuk pertentangan dari cara pandang yang telah berlaku secara menyeluruh,
untuk kemudian ditemukan formula baru dalam memandang. Pola, komunikasi yang
semacam inilah yang membuat filsafat sampai kini masih selalu menarik untuk
bahan kajian yang diminati banyak orang. Yang menarik dari semua itu adalah
bahwa dari berbagai tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan cara pandang tersebut
sebagai pilau analisis, tetapi hampir berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan
sosial.
Dalam filsafat pendidikan banyak sekali
aliran-aliran, seperti aliran Perenialisme, progrestivisme, esensialisme,
eksistensialisme, idealisme, dan rekontruksisme. Dalam aliran-aliran yang telah
disebutkan diatas masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Akan tetapi
yang dibahas dalam makalah ini hanya membahas tentang "filsafat pendidikan
eksistensialisme".
B.
Permasalahan
Setelah kita tahu bagaimana latar
belakang yang sudah di jelaskan oleh penulis maka kita mendapatkan beberapa
pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi diteliti lebih rinci.
Akan tetapi, dalam hal ini penulis membatasi masalah hanya untuk mengkaji Filsafat
Pendidikan Eksistensialisme.
1. Bagaimana
pandangan filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan?
2. Apa
tujuan Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
3. Bagaimana
peranan guru dalam dunia pendidikan menurut filsafat aliran eksistensialisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang
memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara
manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya
benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran
akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan
yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada
bersama dengan manusia lainnya sama sederajat.. benda-benda materi akan
bermakna karena manusia.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran
Soren Kierkegaard (Denmark, 1813- 1855). Inti masalah yang menjadi pemikiran
eksistensialisme adalah sekitar : Apa kehidupan manusia ? Apa pemecahan yang
konkret terhadap persoalan makna « eksis » (berada).
Bagi ekistensialisme, benda-benda
materi, alam fiisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau
tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dengan manusia. Jadi dunia ini
bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan
sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusian secara langsung.
Diantara pandangan-pandangan eksistensialisme
ialah sebagai berikut :
a. Motif
pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu
cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini
ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
b. Bereksistensi
harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara
aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c. Manusia
dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih
dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya,
terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d. Eksistensialisme
memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial
(1980).
B.
Kurikulum
Kaum
eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul pada suatu tingkatan dan ikatan
kepekaan persponal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal
adalah kurikulum yang menberi para siswa kebebasan individual yang luas dan
mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan, melaksanakan
pencarian-pencarian mereka, dan menarik kesimpulan. Menurut pandangan
eksistensialisme tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari
pada yang lainnya itu semua dikembalikan kepada diri manusianya masing-masing.
Dengan
mata pelajaran tersebut siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para
penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami
kebanaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan dan mati. Semua itu
merupakan tema-tema yang aklan melibatkan siswa baik intelektual maupun
emosional.
Kurikulum
eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humanyora dan seni,
karena kedua aspek tersebut diperlukan individu untuk dapat mengintropeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya.
Pelajar
secara perorangan harus menggunakan pengalaman-pengalaman lapangan mata
pelajaran, dan keterampilan intelektual untuk mencapai kepenuhan diri dan lebih
menekankan kepada berpikir reklektif. Sekolah merupakan tempat untuk hidup dan
memilih pengalaman-pengalaman, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam
hidup yang sebenarnya dan lebih baik.
C.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
D.
Proses
belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar
mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber
tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi,
dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber
kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi
penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa,
guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru
disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan
menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar,
pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan
antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan
diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara
pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu
yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu
aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
E.
Peranan
guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme,
kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi
yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan
yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan
makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan
pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada
siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang
ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing
siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar
betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan
metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak
interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para
siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan
kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Setelah kita menelaah dan menjumpai
beberapa materi diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa pandangan-pandangan eksistensialisme ialah
sebagai berikut :
a. Motif
pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu
cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini
ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
b. Bereksistensi
harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c. Manusia
dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih
dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya,
terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d. Eksistensialisme
memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial
(1980).
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
Guru hendaknya memberi semangat kepada
siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang
ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing
siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul
menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama
dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu
berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa
dalam pemenuhan dirinya.
B.
Saran
Kaidah yang paling utama yang sangat
berperan penting dalam kehidupan menurut pandangan penulis adalah pemikiran.
Kita harus bisa membudayakan pemikiran, pemikiran yang bisa menghasilkan budaya
itu merupakan tujuan pendidikan. Maka dari itu, penulis mengharapkan makalah
ini bisa menjadi momentum pembelajaran untuk kita semua dan menjadi referensi
dalam disiplin Ilmu Kependidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes
Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010),
Hal.152-153
Saduloh,
Uyoh. 2009. Filsafat Pendidikan. Alfabeta : Bandung
0 comments :
Post a Comment