BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Perbedaan adalah suatu hal yang wajar
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali dalam masalah
penentuan hukum atas suatu masalah yang terjadi. Tingkat keilmuan, sumber
pegangan, dan banyak hal yang mungkin menjadi faktor penyebab timbulnya sebuah
perbedaan.
Salah satu masalah dari sekian masalah
yang dibahas dalam kajian perbandingan mazhab yaitu tentang kedudukan wali
terhadap sah tidaknya suatu akad pernikahan yang dilangsungkan. Berbagai
pendapat muncul sebagai tanggapan/ jawaban dari masalah ini. Hal ini dikarenkan
tidak adanya dalil nash yang secara jelas menentukan status wali dalam
pernikahan.
B.
Permasalahan
Setelah kita tahu bagaimana latar
belakang yang sudah di jelaskan oleh penyusun
maka kita mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih
jauh lagi diteliti lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penyusun membatasi masalah penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang Perbedaan Pendapat tentang Wali Akad Nikah.
1.
Apa yang
dimaksud dengan wali?
2.
Bagaimana
Perbandingan Madzhab tentang wali?
C.
Maksud dan Tujuan
1. Penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah perbandingan madzhab.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian wali dalam
pernikahan
3.
Mahasiswa dapat
mengetahui syarat-syarat wali akad
nikah.
4.
Mahasiswa dapat
mengetahui lebih jauh tentang pendapat berbagai madzhab tentang wali
5.
Mahasiswa dapat
menelaah tentang pembagian wali.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wali
Nikah
Secara bahasa, wali mempunyai beberapa
arti di antaranya as-shadiq (teman, sahabat), an-nashir (yang menolong), dan
man waliya amra ahadin (orang yang mengurus perkara seseorang). Sedangkan yang
dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain. Dapatnya dia bertindak
terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki
suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri
secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.
Dalam perkawinan wali itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh
mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Sementara itu, menurut Al Jaziri yang
dimaksud dengan wali dalam pernikahan adalah orang yang karenanya bergantung
sahnya akad (nikah), dan akad tidak dianggap sah tanpanya.
B. Syarat-syarat Wali Nikah
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil.[4]
C. Pembagian Wali Nikah
- Wali
mujbir (مجبر)
Wali
mujbir adalah wali yang mempunyai hak mengawinkan beberapa orang yang padanya
terdapat hak perwalian tanpa izin dan ridha/ kerelaan orang yang diwakili
tersebut.
- Wali
ghairu mujbir (مجبر غير)
Wali ghairu mujbir adalah wali yang
mempunyai hak mengawinkan tetapi tidak sah baginya mengawinkan tanpa izin dan
ridha dari orang yang padanya terdapat hak perwalian.
D.
Urutan Wali Nikah
Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama
perwalian itu di tangan anak laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia
memang punya anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturut-turut: cucu
laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara
kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak
saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan seterusnya.
Maliki mengatakan wali itu adalah ayah,
penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun hasil zina) manakala
wanita tersebut punya anak, lalu berturut-turut: saudara laki-laki, anak
laki-laki dari saudara laki-laki, kakek, paman (saudara ayah), dan seterusnya,
dan sesudah semuanya tidak ada, perwakilan beralih ke tangan hakim.
Sedangkan menurut Syafi’i, urutan wali
adalah: ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara
laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudarah ayah),
anak paman, dan seterusnya, apabila semuanya tidak ada, perwalian beralih ke
tangan hakim.
Hambali memberikan urutan: ayah,
penerima wasiat dari ayah, kemudian yang terdekat dan seterusnya, mengikuti
urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ke tangan hakim.
Imamiyah mengatakan bahwa perwalian itu
hanya di tangan ayah dan kakek dari pihak ayah, serta -dalam kasus-kasus
tertentu- hakim.
E.
Perbandingan Madzhab tentang Wali Nikah
Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat:
jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan
dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada
keduanya, wali tidak bisa menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya.
Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan sendirinya tanpa restu
seorang wali.
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang
telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula
melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun janda. Dengan syarat, orang
yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari
dengan mahar mitsil. Tetapi jika dia memilih seorang laki-laki yang tidak
sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi
untuk membatakan akad nikahnya.
Mayoritas Ulama Imamiyah berpendapat
bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat, disebabkan oleh kebalighan dan
kematangannya itu, berhak bertindak melakukan segala bentuk transaksi dan
sebagainya, termasuk juga dalam persoalan perkawinan, baik dia perawan maupun
janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya, maupun tidak,
diresui ayahnya maupun tidak, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat
jelata, kelas sosial tinggi maupun rendah, tidak ada seorang-pun yang
melarangnya. Ia punya hak persis kaum lelaki. Para penganut mazhab Imamiyah
beragumen dengan firman Allah SWT berikut ini:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù
£`ßgn=y_r& xsù
£`èdqè=àÒ÷ès?
br& z`ósÅ3Zt
£`ßgy_ºurør& t ÇËÌËÈ
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya.” (Q.S
Al-Baqarah : 232)
Sedangkan Daud (Az Zhahiri) berpendapat
bahwa nikah itu (nikah yang dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya,
Pen) sah kalau wanita itu bukan perawan (janda), dan bathal kalau wanita itu
perawan.
Ulama yang berpendapat perlunya wali
(dalam pernikahan) bersepakat membaginya menjadi dua bagian, yaitu wali mujbir
dan wali ghairu mujbir. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bersepakat bahwa wali
mujbir yaitu ayah dan kakek. Namun ulama Malikiyah berbeda pendapat dan berkata
bahwa wali mujbir itu hanya ayah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah bersepakat
bahwa orang yang mendapat wasiat dari ayah (washi al ab) untuk mengawinkan itu
termasuk kategori wali mujbir sebagaimana ayah, berbeda dengan ulama Syafi’iyah
yang tidak menyebutkan washi al ab. Ulama Hanabilah menambahkan bahwa hakim
juga termasuk mujbir ketika dibutuhkan.
Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci
tentang dalil-dalil yang menerangkan tentang kedudukan wali dalam pernikahan
baik yang mengharuskan adanya wali maupun yang tidak.
Dalil-dalil
ulama yang mensyaratkan wali
Ø Dalil
Al-Qur’an
QS.
Al-Baqarah: 232
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù
£`ßgn=y_r& xsù
£`èdqè=àÒ÷ès?
br& z`ósÅ3Zt
£`ßgy_ºurør& ( ÇËÌËÈ
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya.” (Q.S
Al-Baqarah : 232)
Mereka (ulama yang mensyaratkan wali,
pen) mengatakan bahwa ayat ini khitab-nya (yang diajak bicara) itu kepada para
wali, jika mereka (wali) tidak mempunyai hak dalam perwalian, maka niscaya
mereka tidak dilarang untuk menghalangi (pernikahan).
QS. Al-Baqarah: 221
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3
ÇËËÊÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”
QS. An-Nur: 32
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB
ö/ä.Ï$t6Ïã
öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t
uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã
ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur
ììźur
ÒOÎ=tæ
ÇÌËÈ
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya.”
Ibarat nash ketiga ayat tersebut di atas tidak menunjukkan keharusan
adanya wali; karena yang pertama larangan menghalangi perempuan yang habis
iddahnya untuk kawin, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah
dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan
orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitab Allah
berkenaan dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham
daripada keharusan adanya wali dalam perkawinan. Dari pemahaman ketiga ayat
tersebut di atas jumhur ulama menetapkan keharusan adanya wali dalam
perkawinan.
Dalil Hadis
1.
Hadis dari Abu Burdah
Ibnu Abu Musa riwayat Ahmad dan Imam Empat.
“Tidak sah nikah kecuali
dengan wali.”
2.
Hadis dari 'Aisyah ra
riwayat Imam Empat kecuali Nasa'i.
“Perempuan
yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil.”
3.
Hadis dari Abu Hurairah
ra riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya.
“Perempuan
tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan
dirinya.”
Dalil-dalil ulama yang tidak
mensyaratkan wali
Dalil Al-Qur’an
1. QS.
Al-Baqarah: 232
“Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”
2. Al-Baqarah
ayat 230:
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
3. Al-Baqarah
ayat 234:
“Kemudian
apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.”
Ayat pertama di atas dengan tegas
mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya dan wali dilarang
mencegahnya. Ayat kedua dengan jelas menyatakan perempuan itu melakukan
perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas
dirinya (maksudnya kawin). Dalam ketiga ayat tersebut fa’il atau pelaku dari
perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan adanya wali.
Dalil Hadis
1. Dari
Abu Hurairah ra riwayat Muttafaq Alaihi
"Seorang
janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan Seorang gadis tidak
boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai
Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam."
2. Hadis
dari Ibnu Abbas riwayat Imam Muslim.
“Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan)
dirinya daripada walinya."
F. Pengaruh
Psikologis Adanya Wali Nikah
Anak laki-laki, apabila ia telah
mencapai usia akil baliq, telah sepenuhnya matang, dan berakal sehat, adalah
bebas untuk menentukan pilihannya, dan tak seorangpun berhak campur tangan.
Namun dalam hal anak perempuan, ada sedikit perbedaan. Apabila seorang anak
perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda, tidak ada seorangpun
yang berhak mencampuri urusannya, dan kedudukannya dalam hal ini sama dengan
kedudukan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan itu seorang perawan dan
hendak memasuki ikatan perkawinan dengan seorang pria untuk pertama kalinya, maka
bagaimanakah situasinya?.
Bahwa si ayah tidak berwenang mutlak
atas putrinya dalam hal ini, dan tidak dapat mengawinkannya dengan siapa saja yang
dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri, dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat. Kita telah melihat bahwa Nabi, dalam jawaban beliau kepada
gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya itu,
dengan jelas menegaskan bahwa apabila si gadis tidak menyetujuinya, ia boleh
kawin dengan pria lain. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fakih
(ahli fikih Islam) tentang apakah seorang gadis yang belum pernah kawin tidak
mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya, atau apakah persetujuan si
ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya.
Akan tetapi, ada hal lain yang sudah
pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau
memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka haknya dicabut,
dan terdapat kesepakatan bulat di antara semua fakih Islam bahwa dalam keadaan
demikian maka si putri sepenuhnya bebas untuk memilih suaminya.
Sekalipun ada perbedaan pendapat tentang
wanita menjadi wali, wajib bagi wali untuk terlebih dahulu menanyakan pendapat
calon istri dan mengetahui keridhaannya sebelum diakad nikahkan. Hal ini karena
perkawinan merupakan pergaulan abadi dan persatuan suami istri, kelanggangan,
keserasian, kenalnya cinta dan persahabatan yang tidaklah akan terwujud apabila
keridhaan pihak calon istri belum diketahui sebelumnya. Karena itu Islam
melarang kita menikahkan dengan paksa baik gadis maupun janda, dengan pria yang
tidak disenangnya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak
menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Setelah kita menelaah dan menjumpai
beberapa materi diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa Wali adalah seseorang
yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain
(mempelai perempuan) yang padanya bergantung sahnya sebuah pernikahan.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah adanya wali dalam pernikahan merupakan suatu keharusan, jika tidak
ada wali maka pernikahan dianggap batal. Baik perempuan tersebut masih perawan
maupun janda, besar maupun kecil, berakal maupun gila. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat bahwa adanya wali itu hanya pada perempaun yang masih kecil dan
yang sudah besar tapi gila. Adapun untuk perempuan yang sudah baligh dan
berakal baik perawan maupun janda punya hak dalam menikahkan dirinya sendiri.
- Saran
Sebagai bentuk aplikatif
makalah ini tentunya mempunyai beberapa daya guna di dalam ruanglingkup
masyarakat terutama dalam pemahaman yang lebih spesifik dalam masalah perwalian.
Jadi, yang patut diingat adalah Islam mempunyai aturan yang didalamnya tentu
tidak pernah memberatkan kita sebagai muslim yang menjalankannya.
Semoga kita dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan mendatangkan Rahmat
dan Ridha Allah dalam perjalanan hidup kita.. amiiin
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin,
Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Muthahhari,
Murtadha. 1997. Hak-hak Wanita dalam
Islam. Penerj. M. Hashem.
Jakarta: Lentera.
0 comments :
Post a Comment