BAB
1
Pengertian
Ilmu Kalam
1. Ontologi
1.1 Pengertian
Kalam menurut bahasa ialah ilmu yang
membicarakan/membahas tentang masalah ke-Tuhanan/ketauhidan (meng-Esakan
Tuhan), atau kalam menurut loghatnya ialah omongan atau perkataan[1].
A.
Menurut istilah Ilmu
Kalam ialah sebagai berikut:
1. Menurut
Syekh Muhammad Abduh
definisi Ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya,
sifat-sifat yang jaiz bagi-Nya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan dari-Nya
dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil
dari mereka[2].
2. Menurut
Musthafa Abdul Razak
Ilmu Kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan
akidah imani yang di bangun dengan argumentasi-argumentasi rasional[3].
3. Menurut
Hasbi Al-Shidiqy
B.
Secara etimologi ilmu
kalam dapat didefinisikan sebagai berikut:
Dalam
istilah bahasa Arab dan dalam Islam, Ilmu Kalam lebih dikenal sebagai Ilmu
tawhid. Kata tawhid merupakan kata kerja (fi’il/verb) tsulasi mazid yang
mengikuti pola/wajan (fa’ala-yufa’ilu taf’ilan), yaitu;
wahhada-yuwahhidu-tauhidan: wa wahhada Ta’ala: Amana bihi Ta’ala wahdahu.
Artinya mengEsakan Allah SWT[4].
Maksudnya, i’tiqad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, Satu[5].
Pengertian ini juga sejalan dengan pengertian tawhid dalam bahasa Indonesia,
yaitu; “keesaan Allah’, mentawhidkan Allah berarti “mengakui keesaan Allah,
mengesakan Allah”[6].
Selanjutnya
teologi Islam disebut pula ilmu kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalam juga bisa
mempunyai maksud dan artian sabda Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ilmu
kalam, sabda Tuhan (Al-Qur’an) pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan
keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan
dan pembunuhan sesama umat Muslim pada saat itu.
1.2
Sumber
A.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai sumber Ilmu Kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan
dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah :[7]
1.
Q.S Al-Ikhlas
(112)
: 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan diperanakkan, serta
tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
2.
Q.S Asy-Syura
(42)
: 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
3.
Q.S Al-Furqan
(25)
: 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas
“Arsy”. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya.
4.
Q.S Al-Fath
(48)
: 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada di atas
tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan
janji Allah.
5.
Q.S Thaha
(20):
39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan
untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
6.
Q.S Ar-Rahman
(55)
: 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak
selama-lamanya.
7.
Q.S An-Nisa’
(4)
: 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan
menurunkan aturan berupa agama. Seseoarang akan dikatakan telah melaksanakan
aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
8.
Q.S Luqman
(31)
: 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinya kepada
Allah disebut sebagai orang muhsin.
9.
Q.S Ali Imran
(3)
: 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali
segala
sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara sadar.
10.
Q.S Ali Imran
(3)
:84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan
petunjuk
jalan kepada para nabi.
11.
.S Al-Anbiya
(21)
: 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku,
ras,
atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua
umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya
kepada-Nya.
12.
Q.S Al-Hajj
(22)
: 78. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan
yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya hanya
karena Allah SWT semata.
B.
Hadist
Hadits
Nabi saw Pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam.
Diantaranya adalah Hadits yang artinya “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a
katanya, pada suatu hari ketika Rasulullah saw. Berkata bersama kaum muslimin,
datanglah seorang laki-laki kemudian bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
‘apakah yang dimaksudkan dengan iman?’ Rasul menjawab,’ Yaitu, kamu percaya
kepada Allah, para malaikat, semua kitab yang diturunkan, hari pertemuan
dengan-Nya, para rasul dan hari kebangkitan. ‘Lelaki itu bertanya lagi,’Wahai
Rasulullah, apakah pula yang dimaksudkan dengan Islam? Rasulullah menjawab,
Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
perkara lain, mendirikan shalat yang telah difardhukan, mengeluarkan zakat yang
diwajibkan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.’ Kemudian lelaki itu bertanya
lagi,’Wahai Rasulullah! Apakah ihsan itu? Rasulullah saw menjawab, ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah
bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu.’ Lelaki tersebut bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, bilakah aku tidak lebih tahu darimu, tetapi aku akan ceritakan
kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila seorang hamba melahirkan majikannya,
itu adalah sebagian dari tandanya. Apabila seorang miskin menjadi pemimpin
masyarakat, itu juga tandanta. Apabila masyarakat yang asalnya pengembala
kambing mampu bersaing dalam mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga
tanda akan terjadi kiamat. Hanya lima perkara itu saja sebagian dari
tanda-tanda yang kuketahui. Selain dai itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya.’
Kemudian Rasulullah saw, membaca surat Luqman ayat 34,’Sesungguhnya Allah lebih
mengetahui bilakah akan terjadi hari kiamat, disamping itu Dialah juga yang
menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim ibu yang mengandung.
Tiada seorang pun mengetahui apakah yang diusahakannya pada keesokan hari,
yaitu baik atau jahat, tiada seorang pun yang mengetahui di manakah dia akan
menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi amat meliputi
pengetahuan-Nya.’ Kemudian lelaki itu beranjak dari situ. Rasulullah saw terus
bersabda kepada sahabatnya,’Panggil orang kembali itu.’ Lalu para sahabat
mengejar kea rah lelaki tersebut dan memanggilnya kembali, tetapi lelaki
tersebut telah hilang. Rasulullah saw. Pun bersabda, ‘lelaki tadi adalah Jibril
a.s. kedatangnnya adalah untuk mengajar manusia tentang agama mereka. Ada pula
beberapa hadits yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi
mengenai kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam. Syaikh Abdul Qadir
mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan faksi umat ini, yang merupakan
salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad yang sangat banyak[8].
Diantara
sanad yang sampai kepada Nabi adalah berasal dari beberapa sahabat, seperti
Anas bin Malik, Abu Huairah, Abu Ad-Darda, Jabir, Abu said Al-Khudri, Abu Abi
Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
C.
Pemikiran Manusia
Sebelum
filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam sendiri atau pemikiran yang
berasal dari luar umat Islam.
Sebenarnya
umat Islam telah menggunakan rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama dengan yang belum jelas
maksudnya (al-mutasyabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata
mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Quran, diantaranya :
Q.S
Muhammad (47) : 24
أَفَلا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya
:
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”
Q.S
Qaf (50) : 6-7
أَفَلَمْ
يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا
لَهَا مِنْ فُرُوجٍ وَالأرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا
فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya
:
“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit
yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan
langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?Dan Kami hamparkan bumi itu
dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya
segala macam tanaman yang indah dipandang mata”[9].
Ayat
serupa dapat ditemukan pada An-Nahl (16) : 68-69, Al-Jaatsiyah(45) : 12-13;
Al-Isra’ (17) : 44; Al-An’am (6) : 97-98; At-Taubah (9) : 122; Ath-Thariq (86)
: 5-7; Al-Ghatsiyah (88) : 7-20; Shad (38) : 29; Muhammad (47) : 24; An-Nahl :
17; Az-Zumar (39) : 9; Adz-Dzariyat (51) : 47-49, dan lain-lain.
1.2
Latar belakang
Latar Belakang
Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam (
intern) dan faktor dari luar ( extern)
a. Faktor Intern. Faktor-faktor intern yang
menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga macam, yaitu:
b. Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada tiga
factor penting, yaitu:
1. Sesungguhnya
Al-Qur’an itu sendiri disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan mempercayai
kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung
golongan-golongan dan agama, yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-Qur’an
itu menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.
2. Sesungguhnya
kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru , dan keadaan mulai
stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai
memfilsafatkan agama .
3. Masalah
–masalah politik
1. Sesungguhnya
kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka
memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster,
Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
2. Sesungguhnya
golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan
perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan
orang-orang yang memusuhi islam.
3. Faktor
ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan
para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi
) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama,
maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat
logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami ( tokoh
Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa pendapatnya.
4. Perbedaan
Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf Yang akan dibicarakan
disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman
lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
5. Pengaruh
Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Apabila memperhatikan masalah
khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat, maka dapat
disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak
mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu.
Tetapi Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum.
2. Epistemologi
Kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti
memiliki sistematika dan metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam
adalah metode Jidal (debat). A. Rozak menyebutnya dengan Metode Keagamaan[10].
Alasannya, karena para mutakalimun (teolog) untuk mempertahankan keyakinan dan argumentasinya
selalu dengan dengan perkataan atau dengan perdebatan, sehingga orang yang ahli
dalam kalam disebut muatakalimun. Sebagai sebuah diskusi keagamaan, maka wacana
kalam, objek kajiannya adalah keyakinan kebenaran tentang ajaran Agama Islam,
bukan mencari kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat[11].
Membaca Ilmu Kalam dari sisi
epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan lebih arif
dalam melihat perbedaan. Terlepas dari keabsahan epistemologi masing-masing
aliran ilmu kalam, penulis beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai
persoalan akidah merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di
atas, nampaknya kalangan ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan
maturidiyah) yang masih kuat berpegang kepada wasiat Nabi saw untuk senantiasa
berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan berpikir dan beramal.
Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu ekstrim dalam menggunakan
akal, namun mereka banyak menolong agama Islam dari serangan-serangan pemikiran
agama lain dan kaum atheis[12].
3. Aksiologi
(manfaat/kegunaan)
Setiap
disiplin ilmu harus mempunyai nilai guna atau manfaat bagi orang yang
mempelajarinya, diantaranya, diantara nilai guna ilmu kalam paling tidak
mencakup hal-hal sebagai berikut;
1. Untuk
mempertahankan kebenaran keyakinan ajaran Agama Islam;
2. Menolak
segala pemikiran yang sengaja merusak atau menolak keyakinan Islam yang sesuai
dengan terminologi bid’ah;
3. Terlindungi
dari kemunculan aliran-aliran yang menyesatkan[13].
BAB
2
Perkembangan
Aliran
1. Khawarij
a. Latar
belakang munculnya
Istilah Khawarij
berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada
mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju
terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Aliran Khawarij muncul
pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan
teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran
untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara
terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah
bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan
politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi
doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak
atau aktifis revolusi”.
Persoalan pergantian
kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat, menjadi titik
yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan perselisihan
di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga
menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai
khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam
tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai
tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai
dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin
Ash.
b. Doktrin
Khawarij
Khawarij sebagaimana
dikemukakan oleh al-Bagdadi, yang meliputi[14];
1. Mengutuk
Ali, Utsman, dan dua orang penengah (Amr bin ‘Ash dan Abu Musa asy-Asy’ari),
orang-orang yang terlibat dalam perang onta (jamal)dan semua orang yang puas
dengan takhim dari kedua orang penengah tersebut;
2. Mengutuk
sebagai orang kafir, lebih umumnya, siapa saja yang melakukan dosa besar; dan
3. Menganggap
sebagai kewajiban bagi setiap orang yang beriman untuk memberontak terhadap
penguasa yang tidak adil (al-Imam al-jair).
c. Kelebihan
dan kekurangan doktrin
1. Kelebihan
a. Pembelaan
terhadap situasi negara dan didasarkan dalam Al-Qur’an;
b. Berfikir
selalu komunalistik tidak individualistik;
c. Tidak
pernah mengikuti adanya kharisma khusus kepada pemimpin;
2. Kelemahan
1. Keras
kepala dan memudahkan dalam hal ibadah dan yang lainnya;
2. Pelaku
dosa besar adalah kafir.
d. Pengikut
di Indonesia
Aliran khawarij ini
sebenarnya tidak ada di Indonesia. Kenapa dibilang tidak ada? Karena aliran keras ini tidak cocok dengan budaya
Indonesia yang selalu berpegang teguh kepada nenek moyang dan adat istiadat,
apabila ada di Indonesia bukan mustahil banyak pertikaian. Akan tetapi
ciri-ciri khawarij ini sama hal nya pelaku teroris saja di Indonesia itu pun
benar-benar minoritas.
2. Murji’ah
a. Latar
belakang
Aliran
ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama hijriyah. Dinamai Murji’ah
karena lafadz itu berarti menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat bahwa
orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, sehingga matinya tidak
juga bertaubat, orang itu belum dapat kita hukum sekarang. Terserah atau
ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Alah SWT setelah hari kiamat.
Pendapat
lain asal-usul atau timbulnya aliran Murji’ah adalah al-Irja’a yang mempunyai
dua arti, yaitu :
1.
At
Taakhir, yang artinya mengkemudiankan atau menunda. Pengertian ini menunjukkan
bahwa aliran Murji’ah menunda amal dari niat;
2.
I’thoarojaah,
maksudnya memberi pengharapan. Pengertian ini menunjukkan bahwa iman seseorang
itu tidak rusak karena perbuatan dosa, begitu pula perbuatan kafir tidak
merusak ketaatan.
b. Doktrin
1.
Sebagian
dari ajaran-ajaran aliran Murji’ah itu berangapan bahwa iman itu mengenal
kepada Allah dengan segala kelengkapannya tetapi hanya urusan hati saja. Untuk
urusan lahiriyahnya (amal perbuatan) tidak termasuk jangkauan iman. Barang
siapa iman tetapi melakukan dosa besar bagi mereka tetap mukmin dan hukumnya
diserahkan kepada Allah. Menurut mereka, iman itu bertempat dalam hati
sanubari, jadi mukmin yang tulen adalah mukmin dengan hati itu sekalipun
nampaknya ia melahirkan kekafiran dengan lisannya.
2.
Golongan
ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan. Demikian
juga sebaliknya, tidaklah akan memberi manfaat dan memberi faedah ketaatan
seseorang terhadap kekafirannya. Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah
akan diberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafir. Oleh sebab
itu, golongan ini sekali-kali tidaklah mau mengkafirkan seseorang yang telah
masuk Islam, sekalipun bagaimana besarnya maksiat yang diperbuatnya, asal ia
menganut agama Islam dan mengucapkan dua kalimat Syahadat.
3.
Perbuatan
maksiat dan dosa-dosa yang dikerjakannya itu terserah hukumnya kepada Allah
SWT. Walaupun perbuatannya itu sampai akhir hayatnya tetap demikian, orang itu
dihukumkan juga golongan mukmin yang sempurna imannya disisi Allah SWT.
c. Klebihan
dan kekurangan doktrin
1.
Kelebihan
dari aliran ini adalah golongan ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat
itu terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, “tidaklah akan memberi manfaat
dan memberi faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya”. Artinya, tidaklah
akan berguna dan tidaklah akan diberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh
orang kafir. Maka dari itu, mereka tidak mau mengkafirkan seseorang yang telah
masuk Islam, sebab golongan ini sagat mementingakan kewajiban sesama manusia.
2.
Kekurangan
aliran ini adalah lebih mementingkan urusan dunia dari pada akhirat. Karena
menurut mereka, iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal
wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban
yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syariat.
Firman
Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 28 :
الّذين امنوا وتطمئنّ قلوبهم بذكر الله قلى الا بذكر الله تطمئنّ القلوب
Artinya
: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi
tenteram”.
Apabila
seseorang sudah mempercayai Allah SWT dan rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu
yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam
perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya. Seperti berbuat dosa,
menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa
surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
Firman
Allah SWT dalam surat Al Anfal ayat 2 disebutkan :
واذا تليت عليهم اياته زادتهم ايمانا (الانفال : 2)
Artinya
: “Dan apabila dibacakan terhadap ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat itu menambah
iman mereka”. (Al Anfal : 2).
d. Pengikut
di Indonesia
Pengikut aliran ini di
Indonesia mungkin tidak ada, karena ini adalah salah satu aliran yang bisa
dikatakan radikal dan ekstrim. Apabila orang salah memahaminya bisa salah
kaprah nantinya. Tapi, bukan tidak mungkin di Indonesia ini ada, dan yang lebih
mencolok dari kita itu adalah sifat kita kebanyakan jika sudah mentok dalam
satu hal kita cenderung memakai paham Aliran Murji’ah ini.
3. Jabariyah
a. Latar
belakang
Kata Jabariyah berasal
dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al- Munjid, dijelaskan bahwa
nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti Memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut
Fatalism atau Predisnation, yaitu Paham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.
Paham Al-Jabar pertama kali dikenalkan
oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm Bin Shafwan dari Khurasa.
Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran
Jamhiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekertaris Suraih bin Al-haris dan
selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani umaiyah. Namun dalam
perkembangannya, paham Al- Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainya
diantaranya Al- Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Lebih
lanjut, Harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, Masyarakat
Arab tidak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keinginannya sendiri.Akhirnya,mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal
ini membawa mereka kepada sifatfatalism.
b. Doktrin
1. Al-
Quran itu adalah Mahkluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru itu tidak
dapat di sefatkan kepada Allah.
2. Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahkluk, seperti berbicara, melihat
dan mendengar.
3. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
c. Kelebihan
dan Kekurangan Doktrin
1. Kelebihan
Aliran ini bisa dalam
hal penelaahan zat Tuhan dan Makhluk dan ini sangat penting bagi kita semua.
2. Kelemahan
a. Kelompok
jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari
bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha).
b. Akidah
yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa
semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka.
c. Keyakinan
semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan
usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa.
d. Pengikut
di Indonesia
Pengikut Aliran ini di
Indonesia tidak ada karena bisa menyesatkan semua bangsa Indonesia khususnya
umat muslim dan umumnya bisa ke semua agama. Bukan hanya pada tatanan agama
saja akan berdampaknya aliran ini, akan tetapi akan berdampak pada perekonomian
dan budaya bangsa.Sedangkan di Indonesia ini budaya dan ras nya heterogen. Sudah
barang tentu, banyak sekali penolakan dari bangsa Indonesia jika ada aliran
semacam ini.
4. Mu’tazilah
a. Latar
belakang
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah
Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh
Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah).
b. Doktrin
1. Al-Twahid
Tuhan adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl
Tuhan wajib berbuat
adil segala kehendak Tuhan tidak boleh bertentangan dengan paham keadilan.
3. Al-Wa’du
Wa al-Wa’id
Ini berarti janji atau
acaman, bahwa Tuhan tidak adil jika tidak menghukum orang yang berbuat dosa dan
tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
4. Al-Manzilah
Baina Al-Manzilatayn
Bahwa orang yang
berbuat dosa besar menempati temat khusus . Tidak kafir dan tidak pula mu’min.
5. Al-Amr
bi al-Ma’ruf-wa al-Nahyi ‘An al-Munkar
Perintah berbuat baik
dan larangan berbuat buruk/jahat, erat kaitannya dengan pembinaan moral.
c. Kelebihan
dan Kekurangan Doktrin
1. Kelebihan
a. Dalam
berpolitik Islam Mu’tazilah ini sangat bagus;
b. Dalam
kemajuan peradaban juga aliran ini baik sekali karena mendukung peradaban
Islam;
c. Banyaknya
tokoh-tokoh Ilmuwan dalam Islam dari aliran Mu’tazilah ini.
2. Kelemahan
a. Aliran
ini berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk (bukan diciptakan bukan qodim);
b. Adanya
tida tempat dan tempat yang tengah itu untuk orang yang bisa dikatakan antara
berdosa dan tidak.
d. Pengikut
di Indonesia
Kalau melihat secara
stereotip ini mungkin ada di kawasan atau negara Indonesia, karena pahamnya ada
kesamaan dengan aliran tertentu di Indonesia. Akan tetapi mungkin golongan ini
hanya untuk kaum intelektual seperti Muhammadiyah, rasanya kurang layak untuk
NU karena bertentangan dengan tradisi. Beda hal nya dengan muhammadiyah /
persis dan yang lainnya cenderung moderat dan liberal.
5. Asy’ariyah
a. Latar
belakang
Aliran ini didirikan
oleh Al-As-ari. Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu Al-hasan Ali bin Ismail bin
Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Abi Musa Al-Asy’ari. Menurutgalk beberapa riwayat, Al-asy’ari lahir di Bashrah
pada tahun 260 H / 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota
Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H / 935 M. Menurut ibnu Asakir, ayah
Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlulsunah dan ahli hadist.ia wafat
ketika al asy’ari masih kecil.sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang
sahabatnya yang bernama zakaria bin yahya as-saji agar mendidik al-asy’aria.ibu
al-asy’ari sepeninggal ayahnya,menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah
yang bernama abu ali al-jubai (w.303H ¬/915) Ayah kandung abu hasyim al-jubbai
(w.321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu,AL-Asy’ari kemudian menjadi
tokoh Mu’tazilah. Ia seiring menggantikan Al-jubba’i dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu,banyak menulis buku yang membela alirannya .
AL-Asy’ari menganut
paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun setelah itu,secara tiba-tiba
ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah. Bahwa dirinya telah
meninggalkan faham Mu’tzilah dan menunjukun keburukan-keburukannya.( Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal.120) dan
berpidato ’’wahai manusia ! Barang siapa di antara kamu yang kenal pada
saya,saya akan memperkenalkan diri saya bahwa saya ini adalah Abul hasan
AL-Asy’ari,yang beberapa waktu meyakini bahwa quran itu mahluk dan baru,dan
bahwa allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa perbuatan jahat itu
saya sendirilah yang mengerjakan,bukan dengan qada dan qadar,saya sudah tobat
dan saya sekarang menentang paham Mu’tazilah.tentang kesalahan pendirinya.
b. Doktrin
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di
kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat di hindarkan
walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandanga ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan
kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat
itu harus difahami menurut arti harfiyahnya.
Di lain pihak ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau
kursi tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara
alegoris.
b. Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Dalam hal apakah
manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan
perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik
dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut
faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazillah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda
dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal
dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan
akal.
Dalam menentukan baik
burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-asy’ari berpendapat
bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya
pada akal.
d. Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan
pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazillah yang
mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta
pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah
kalam Allah, (yang qodim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat
bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan
bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu
tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa allah bersemayam di
Arsy. Selain itu, itu ia tidak sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari
ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digaambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Pada dasarnya
Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak
memiliki keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian,
jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak
ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin
yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufr. ( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ibid. hal.
121-124)
c. Kelebihan
dan Kekurangan Doktrin
1. Kelebihan
a. Tidak
terlalu menggunakan akal rasional aliran ini selalu menggunakan keyakinan saja.
b. Tidak
radikal atau ekstrim selalu berjamaah
2. Kelemahan
a. Asy’ari
cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia,
termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
b. Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui
pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap
kegiatan yang dilakukan.
c. Konsep
kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang
lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
d. Pengikut
di Indonesia
Pengikut aliran ini di
Indonesia banyak sekali dan mayoritas ini. Kita bisa ketahui penganut paham
atau aliran ini seperti halnya orang-orang NU. Aliran Asy-‘ariyah ini
beradaptasi dengan budaya, ras, dan kebiasaan. Jadi banyak penganutnya.
Kesimpulan
Daftar
Pustaka
Ahmad,
Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam,1998, Bandung : CV. Pustaka Setia
Abdul
Rojak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam , Pustaka Setia, Bandung, 2006
Abdul
Rozak, dkk. 2006. Ilmu kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan ,
UI
Pers, Jakarta
Nouruzzaman Siddik, Syi’ah dan Khawarij, PLP2M, Yogyakarta, 1985
Hanafi,
Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta: 2001
Abdul
Razak, Mustafa. Tahmid Li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Lajnah
wa
at-Thalif wa-Attarjamah wa Nasyir, 1959
Asmuni,
M. Yusran. Ilmu Tauhid. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996
[1] Drs. H. Bakri Dusar. Tauhid dan ilmu kalam. Hal: 3
[2] Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Bulan bintang. Jakarta.1965. Hal:25
[3] Mustafa Abd. Razak. Tahmid li tarikh al-fasafah al-islamiyah, lajnah
wa at-thalif wa-attarjamah wa nasyir, 1959. hal: 265
[4] Lihat, Luis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al’alam, (Beirut: Dar
al-Masyrik, 1986), hal 890.
[5] M. Yusran Asmuni, Ilmu Tawhid, (Jakarta: LSIK dan Raja Grafindo,
1996), hal. 1
[6] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hal. 907-908
[7] Abd Al-Qadir bin Thahir bin Muhammad Al-Ishfiraini At-Taimi, Al-Farq
bain AlFiraq, Muhammad Ali Shahib wa Auladuh, Mesir,1037, hal. 810
[10] Lihat, A. Razak, Metode Studi Islam, (Bandung: Media Utama Pusakatama,
2001), hal. 86
[11] Lihat, Rohanda WS & Dadan Firdaus, Ilmu Kalam; Untuk Mahasiswa, (Bandung:
Najwapress, 2010), hal 19
[12] Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi
Islam, dalam Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2003)
[13] Lihat, Rohanda WS & Dadan Firdaus, Ilmu Kalam; Untuk Mahasiswa,
(Bandung: Najwapress, 2010), hal 19
[14] Abu Mansyur al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, (Cairo, 1910, hal. 55)
0 comments :
Post a Comment